Zahra merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia melihat ke rak buku yang membuatnya sangat penasaran. Ia mulai berdiri dan melihat buku-buku yang tertata rapi. Banyak sekali novelnya!. Saat Zahra sedang terkagum-kagum, ia melihat tulisan kecil pada rak buku.
Bacalah jika berani!
Zahra mengambil salah satu buku yang sangat tebal. Ia membaca judulnya. Dunia Sophie, sebuah novel filsafat. Zahra membaca beberapa halaman pertama dan langsung menutupnya. Dia menghela napas dan tersenyum putus asa. Bukunya berat, juga tebal. Ia kemudian mencoba mencari novel lain yang ringan. Beberapa novel yang ia kenal baik. Karya Tere Liye, Boy Candra, Fiersa Besari, Asma Nadia, Ma’mun Affany, Yetti Aka, Habiburrahman El-Shirazy, juga ada novel Aan Mansyur dan Eka Kurniawan yang Zahra kenal namanya namun belum sempat membaca karyanya.
Terakhir, matanya tertuju pada buku harian dengan sampul berwarna biru. Zahra membuka dan membaca dua kata yang ditulis besar-besar.
Zahra Arnalda.
Itu namanya. Zahra seketika membuka halaman selanjutnya.
Sudah berapa lama sejak terakhir kita bertemu?
Banyak hal terjadi. Banyak tugas datang dan pergi. Tapi malamku selalu tentangmu. Di antara kesunyian aku bercerita banyak hal tentangmu kepada langit-langit kamar. Saat kudengar suara hewan-hewan malam aku bertanya apakah kamu juga mendengarkan mereka? suara jangkrik, tokek, kodok, terkadang juga ayam. Mereka semua seolah ingin menghibur diriku yang mereka tebak sepertinya sedang rindu padamu.
Zahra tersipu. Gombal terus ah,... Lalu ia teruskan membaca
Bolehkah aku terus berusaha untukmu? Terkadang aku menjadi tidak percaya diri, menganggap dirimu terlalu tinggi untuk kuraih. Padahal, cintamu tidaklah meragukan. Aku tidak ragu padamu, aku hanya ragu pada diriku sendiri. Tapi, sekali lagi, aku tidak boleh menyerah di depan wanita yang sampai sekarang setia menungguku. Ah,... Aku berharap hidup ini akan sedikit lebih mudah, tapi semakin aku berharap semakin pula aku tenggelam pada kenyataan bahwa hidup ini tidak pernah mudah jika kita berhenti berusaha.
Karena itu, aku akan berusaha sekali lagi, lagi dan lagi. Harapan tidak akan membuat manusia bebas, ia belenggu, tapi dari belenggu itulah aku belajar bernalar dan berusaha. Untuk lepas, untuk bebas.
Aku akan melepaskan harapan-harapan yang tidak perlu. Akan kupilih harapan-harapan yang mampu kuwujudkan, dan dengan kepercayaan dan betapa egoisnya diriku, aku mempertahankan harapan untuk meraihmu. Bagaimana mungkin aku melepasmu? Tidak, itu pilihan yang terlalu berat.
Zahra menghembuskan napas. Entahlah, terkadang Zahra tidak mengerti jalan pikiran Damar. Tulisan Damar tidak membuat Zahra terkejut atau bertanya-tanya. Ia sudah seringkali menghadapi Damar. Zahra tersenyum membaca ulang kalimat Damar, Bagaimana mungkin aku melepasmu? Dan dengan sangat yakin, Zahra percaya bahwa inti dari tulisan Damar adalah kalimat itu.
Zahra menutup buku harian Damar. Ia menguap kemudian berbaring, menarik selimut dan terlelap.
*****
Zahra bangun satu jam kemudian. Badannya sedikit pegal. Ia memutuskan untuk mandi dan berganti pakaian. Setelah merapikan kamar, ia kembali mengambil buku harian Damar, mungkin saja ada tulisan Damar yang bisa mengisi waktu kosongnya. Ia membuka acak buku itu dan berhenti di halaman yang tertempel di sana foto Zahra saat masih SMA, mengenakan baju merah dengan rompi kelompok Pers sekolah. Zahra cemberut seketika, dari sekian banyak foto yang kukirim padamu, kenapa harus foto terculun ini yang kamu tempel di buku harianmu?
Zahra membuka halaman selanjutnya. Ada foto yang terselip di sana. Foto perempuan. Zahra menahan napas. Tertulis jelas sebuah nama dengan tulisan tangan Damar. Hannah Faida. Selanjutnya sebuah kalimat pertanyaan tertulis. Bagaimana kabarmu, Hannah?
Ayu masuk ke kamar saat Zahra masih memandang foto Hannah dan kalimat pertanyaan Damar dengan penuh kekesalan. Saat menyadari kehadiran Ayu, Zahra seketika menampakkan sisi kewanitaannya,
“Bu, coba lihat, Damar menyimpan dua foto perempuan sekaligus!” Zahra mengadu.
“Ah, benarkah?”
“Benar. Ini! Seharusnya dia tidak menyimpan foto perempuan sembarangan, kalau itu cuma foto satu perempuan saja tidak masalah, tapi jika dua? Ini tidak benar kan, Bu? Tidak ada perempuan yang mau diduakan seperti ini.”
Ayu tertawa seketika. Ia mencubit pipi Zahra yang semakin lama semakin mengembang karena kesal. “Kamu tahu itu foto siapa?”
“Iya. Foto Hannah Faidah.” Jawab Zahra singkat.
“Kamu cemburu?”
“Hmz,... Iyalah, Bu... eh, enggak, maksud saya, kan tidak baik menyimpan dua foto perempuan sekaligus.”
“Uhuk, kamu tidak pintar berbohong, Zahra.”
“Lagian, Damar udah janji katanya dia cuma akan sayang saya, tapi...”