Cinta Tanpa Mustahil

Syamsul Ma'arif
Chapter #9

Maaf, Aku Tidak Bisa Membalas Cintamu

Zahra menghela napas. Ayu tersenyum dan mulai menggodanya.

“Mau baca surat cinta selanjutnya? Jangan cemburu loh”

Zahra mengambil surat lain dari kotak persegi panjang di atas meja. Ayu mengambil surat yang hampir saja Zahra buka.

“Ibu saja yang baca. Kamu, coba dengarkan... Ibu pengen tahu reaksi kamu saat dengar surat ini. Kalau bisa sih, posisikan diri seolah kamu penerima surat ini.”

Zahra hanya mengangguk. Tapi jantungnya berdebar-debar. Surat seperti apa yang akan ia dengar? Ayu mulai membaca.

Hai, Tyas...

Senyum dulu dong sebelum baca suratku!

Zahra tersenyum seketika sambil bergumam. Dasar.

Maaf, aku tidak bisa berbicara langsung. Malu, kamu terlalu cantik. Pertama kali lihat kamu, jujur saja ya, bawaannya aku selalu pengen senyum terus. Apalagi kalau kamu juga liat aku terus senyum gitu ke aku. Aku seneng banget.

Kamu apa kabar? Jangan sakit lah, kalau kamu sakit siapa yang mau aku pandangin di sore hari ketika belajar ngaji? Jujur ya, kalau kamu gak hadir ngaji, aku menjadi yang pertama kali gelisah. Mencari-cari kabar. Ada apa denganmu. Jika aku mendengar kamu sakit, seharian aku sedih. Mikirin kamu.

Zahra tersipu. “Duh, Bu... ini bener suratnya anak SD?”

Ayu hanya mengangkat bahu dan melanjutkan membaca surat sambil tersenyum sendiri. Menyadari betapa anaknya sangatlah jago ngerayu.

Kamu senyum terus ya kalau aku liatin... Tyas, kamu suka gak ke aku? Kenapa aku tanya seperti itu ya? Jawabannya, karena kamu selalu membalas senyumku. I Love You. Kamu mau kan jadi pacarku?

Oh, ya.. Selamat ulang tahun ya. 25 Agustus 1997. Kamu lahir 4 hari sebelum aku terlahir. Kita sama-sama Agustus kan... cocok lah...

Balas suratku. Balas cintaku!

Damar Azhar menunggumu.

“Eh, Bu... kok keren ya kalimat akhirnya... Balas suratku. Balas Cintaku” Zahra tertawa. Sebenarnya, dia sedang membayangkan Damar saat menulis surat itu. Betapa imutnya Damar menulis surat romantis semacam itu.

“Anak siapa dulu? Haha.... entahlah, Ibu juga gak tahu dia dapet kalimat macam itu dari mana.”

*****

Damar menggenggam suratnya erat-erat. Ia harus memberikannya. Ia tidak ingin memusnahkan surat yang ia tulis semalam suntuk. Perasaannya harus tersampaikan. Setelah mengaji, Damar memanggil Tyas. Memberikan surat itu dengan jantung yang berdegup kencang. Langsung di depannya sambil lalu melihat awas agar tidak ada seorangpun yang melihat.

“Aku mau main, kita bisa jalan bareng.” Ucap Damar sambil mengulurkan tangannya, memberikan surat. Tyas hanya diam.

“Gak bisa bareng kalau hanya berdua. Aku pulang bareng teman-teman lain.” Tyas menjawab dengan gugup. Bicaranya sedikit berubah. Kaku.

“Iya, gak apa. Kita bareng yang lain.”

Di sepanjang jalan, Damar berjalan di belakang Tyas dan teman-temannya. Saat Tyas menoleh ke belakang, Damar akan memandang langsung ke matanya dan memberikan senyuman yang paling manis. Tapi, Tyas tidak banyak merespon. Semakin lama, ekspresinya semakin datar.

Tyas sampai di rumahnya. Ia tidak melihat ke arah Damar. Ia benar-benar tidak melihat Damar lagi. Akhir yang kurang memuaskan. Damar terus melangkahkan kaki. Menikmati jalan yang semakin menanjak menuju rumah saudara di ujung jalan. Ya, benar-benar di ujung jalan. Karena setelah rumah itu sudah perkebunan dan hutan.

Saat Damar pulang dan lewat di depan rumah Tyas, tiba-tiba Tyas berlari kecil ke jalan. Ia melihat sejenak ke arah Damar. Tersenyum, sangat manis. Ia menggunakan jaket berwarna pink. Ia bergegas membalikkan tubuh sambil menjatuhkan kertas yang sudah terlipat rapi. Sebuah surat balasan. Jantung Damar berdegup lebih kencang. Ia berlari dan segera mengambil surat itu, ia tidak ingin seorangpun tahu . Cukup dia dan Tyas saja yang tahu.

Sampai di rumah, Damar bergegas ke kamar. Menutup pintu. Mengambil bantal. Membaca surat sambil tengkurap.

Aku balas suratmu!

Tapi maaf, aku tidak bisa membalas cintamu.

Damar menarik napas dalam-dalam. Aku ditolak dan dia tersenyum manis sekali tadi. Ia memejamkan mata. Mengatur napas. Bingung, surat dari Tyas masih panjang. Namun, jawaban yang ia inginkan sudah dijawab sangat jelas di awal surat. Apa ia masih perlu untuk mengetahui alasannya? Masih perlukah ia baca tulisan yang masih panjang itu? Damar memutuskan untuk kembali membaca.

Aku suka melihat orang lain tersenyum kepadaku. Apalagi kamu anak yang baik. Aku suka kamu tersenyum padaku. Tapi, jika kamu menginginkanku menjadi kekasihmu, aku tidak bisa. Benar-benar tidak bisa. Apapun alasannya.

Kamu tahu Dea? Dia saudara perempuanku. Bukan saudara kandung sih, Dea lebih awal mengaji di rumahmu. Dia lebih awal mengenalmu. Sering bercerita tentangmu kepadaku. Selalu saja kamu. Oh, ya... Dea juga ikut membaca suratmu. Maaf, aku tidak bisa merahasiakan itu. Dea juga tahu kalau aku membalas suratmu. Bahkan, dia sudah membaca surat ini sebelum kuberikan padamu.

Damar, Dea suka padamu!. Dia terlihat sedih sekali setelah tahu bahwa orang yang dia sukai menyukai saudaranya sendiri. Aku tidak bisa menerimamu bukan karena aku sudah punya orang lain dalam hidupku, hanya saja aku tidak ingin saudaraku terlihat sedih seperti itu. Aku juga tidak ingin dibenci oleh saudara sendiri.

Jangan membenciku ya... Coba saja mengerti. Tetaplah tersenyum padaku meskipun aku tidak menerima cintamu. Teruslah tersenyum padaku sebagaimana yang sudah terjadi. Kita berteman saja. Masalah Dea, kamu bisa menanggapinya sendiri. Aku akan senang jika kamu mau bersanding dengannya.

Sekali lagi, maafkan aku ya...

Lihat selengkapnya