Ujian Nasional sudah diambang mata. Sebelum itu sekolah sudah melaksanakan UASBN dilanjutkan dengan beberapa ujian praktek. Damar menyukai masa-masa sebelum ujian praktek. Karena sudah pasti Hannah menjadi bagian dari kelompoknya. Alasannya cukup simpel, karena rumah Damarlah yang terdekat dari rumah Hannah dan Rendi dari desa sebelah. Saat-saat latihan praktek memberi Damar kesempatan lebih sering menyapa dan bergurau dengan Hannah. Rencana untuk mendekati Hannah berjalan sempurna. Damar merasa lebih dekat dengannya. Apa Hannah juga merasa lebih dekat? Damar belum tahu.
Praktek memasak untuk kelas akhir akan dilaksanakan lusa. Semua anggota di kelompok Damar sudah membayar iuran kecuali dirinya. Rencananya, besok Rendi akan ke pasar bersama ibunya untuk membeli bahan-bahan praktek. Damar sungguh malu karena belum membayar. Ia memang belum minta ke bapaknya. Berhadapan dengan Azhar cukup membuat Damar takut. Karena itu, Damar selalu menghidarinya.
“Damar kapan mau bayar?” Rendi bertanya.
“Nggak tau ni... Soalnya masih belum minta ke bapak..” Damar memberi alasan.
“Ayo dah kita anterin ke rumahmu sekarang. Kamu minta uang ke bapakmu.” Teman-teman Damar memberi solusi. Ia pun menyetujui. Mereka pergi ke rumah Damar . Jantung Damar sungguh berdebar di sepanjang perjalanan. Saat sampai di rumahnya, Azhar ada tamu. Damar mengucap salam.
“Kok sudah pulang? Ada apa?” Ujar Azhar.
“Minta uang, Pak.”
“Buat apa?”
“Lusa praktek memasak. Besok mau beli bahan-bahannya. Iuran sepuluh ribuan. Teman-teman sudah bayar semua.” Damar pikir Azhar akan segera memberinya uang jika ia menjelaskan semuanya. Namun, perkiraannya salah. Azhar memarahinya di depan teman sekolahnya. Ia jelas malu. Matanya mulai basah.
“Cuma minta sepuluh ribu, Pak...” Damar sedikit mengangkat suara. Ia hanya ingin meminta uang. Bukan makian dan kemarahan.
Aku Cuma minta uang iuran, Pak. Bukan untuk jajan.
Azhar tetap memarahi Damar. Rasa kesal kepada Azhar yang selama ini terpendam, entah mengapa keluar begitu saja. Damar merasa semua kekesalannya terkumpul dan berubah menjadi dendam yang sangat besar. Dendam menciptakan keberanian. Kenekatan tanpa berpikir panjang. Tanpa menghiraukan teman-temannya lagi, Damar berlari ke kamar. Menutup pintu. Ia tengkurap sambil memeluk bantal. Air matanya tumpah begitu saja.
“Damar, gak mau balik sekolah?” Teman Damar mengajak.
“Balik aja sendiri. Aku udah berhenti sekolah.” Damar benar-benar berubah menjadi pribadi yang lain.
Apa sih sulitnya memberi uang sepuluh ribu? Kenapa menjadi anak baik selalu memuakkan? Kenapa aku tidak pernah bisa melakukan semua hal sesuai keinginan? Serba diatur ini dan itu. Teman-teman lain bebas saja melakukan apapun. Aku ini anak siapa? Kenapa tidak seorang pun yang mau peduli. Kenapa, Ha.... Diam di rumah sendirian. Ibu ke Arab. Bu, Kapan Pulang? Aku bosan menunggu. Gak inget lagi ya ke aku?
Aku ini benar anak kalian atau bukan? Begini salah, begitu salah. Asal kalian tau, apa aku harus berkata bahwa aku tidak pernah benar-benar merasa bahagia? Aku benci semua. Aku benci semua orang. Aku benci mereka yang selalu bahagia. Aku benci lingkunganku. Aku benci keluargaku. Aku membenci hidupku. Aku membenci semuanya karena aku tidak tahu siapa yang harus aku percaya. Siapa yang harus aku jadikan sandaran. Tuhan, adakah Ia?
Tuhan, jika kau ada. Aku pasti sangat membutuhkanmu.
Damar menangis sampai berjam-jam. Tangisan terlama seorang Damar kecil. Ia pun tertidur. Baru bangun pukul setengah dua. Pergi ke kamar mandi dengan mata yang bengkak. Mandi kemudian kembali ke kamar. Mengurung diri di sana. Tidak ada lagi semangat. Damar membuang jauh dirinya yang sebenarnya. Tidak mendengar lagi suara hatinya. Ia belajar menjadi anak yang abai pada semua hal. Saat mau kembali ke kamar, Damar sempat berpapasan dengan Azhar. Ia berjalan saja dengan angkuh. Berlagak tak sopan, mengacuhkan bapaknya. Perang dingin dimulai.
Keesokan harinya, Damar memecah celengan. Mengeluarkan isinya yang sudah lumayan banyak. Ia tidak peduli lagi dengan keinginan untuk membeli ini dan itu. Saat teman-temannya sekolah, Damar mengurung diri di kamar. Tidak punya seorang pun teman. Siang hari ketika anak-anak sudah pulang sekolah, Damar keluar rumah. Mengajak teman bermain ke desa seberang. Bermain Playstation sepuasnya dengan uang tabungannya. Leo adalah teman yang paling berani. Dia tetap mau Damar ajak meskipun Azhar sudah melarang semua anak yang mengaji di Mushollah untuk menyapanya. Kegiatan Damar benar-benar berubah total. Ia melupakan segalanya. Tidak lagi bangun pukul tiga pagi untuk memasak. Tidak lagi peduli dengan kebersihan rumah. Ia biarkan bapaknya yang melakukan semuanya. Damar hanya tidur, makan ketika tidak ada orang. Bermain sampai hampir Maghrib. Tidak lagi mengaji. Sebenarnya, hatinya selalu memberontak dengan kelakuannya yang seperti itu, namun ego dan rasa kesalnya terlampau besar.
“Kalau hidup cuma makan, tidur dan keluyuran... Mau jadi apa?” Azhar menyindir Damar saat ia pulang.
“Udahlah, Terserah aku, hidup juga hidupku sendiri.” Ujar Damar songong.
Kenapa tidak memakai bahasa yang sopan? Hati Damar berteriak.
Begitu saja keseharian Damar. Ia berpura-pura sangat menikmati kebebasannya. Padahal, jauh di dalam hati, ia merasa tersiksa karena berbuat begitu jahat kepada bapaknya sendiri.
Dua minggu perang dingin antara Damar dan Azhar berlangsung. Sampai akhirnya, Azhar yang memulai berbicara lembut terhadap Damar. Menghadapinya dengan kesabaran. Azhar memanggil.
“Damar,..”
“Ha...” Damar menjawab tetap dengan lagak yang tidak sopan sama sekali.
“Apa gunanya diajari sopan santun kalau ketika besar melawan orang tua seperti ini?”
Damar hanya diam. Ia enggan menerima semua nasehat bapaknya meski ia mengakui kebenarannya. Ia enggan dibelikan baju untuk hari raya.
Aku benci kamu, Pak.
Hati Damar menangis. Namun matanya ia biarkan terlihat acuh. Azhar menyerah. Ia akhirnya membawa Damar ke rumah wali kelasnya, Bu Nurul.
“Kalau kamu gak masuk kelas terus, gimana mau ikut UN?”