"Ninda kamu sudah dewasa, kamu sudah pantas memiliki pendamping nak!" kata-kata papaku membuat menu sarapan seperti pecahan kaca yang siap melukaiku kapanpun.
"Iya nak, benar apa kata papa kamu. Kamu sudah waktunya mempunyai pendamping agar ada yang nemenin kamu tiap saat." Balas mama menambah rasa jengkel dalam hatiku.
"Apaan sih." Batinku menggerutu sambil ku nikmati sarapan meski aku tak sanggup menelannya.
"Kamu igat Indra?" papaku menatapku dengan tersenyum.
Seketika aku terkejut lalu menatap papaku, aku kembali menunduk dan mengaduk-aduk makananku yang tak bisa aku habiskan.
"Indra yang ketemu waktu kita di restauran. Dia laki-laki yang baik, sholeh, dari keluarga yang baik-baik. Kamu sangat beruntung jika bisa memiliki pendamping seperti dia."
Derr, otakku terasa mendidih mendengarnya. Jantungku berdetak sangat kencang, hatiku terasa kesal dan marah.
"Ninda masih kuliah pa," jawabku dengan raut wajah cemberut.
Papaku justru tersenyum dan tak peduli dengan ekspresiku. "Ya apa masalahnya nak, banyak kok yang nikah sambil kuliah. Apalagi calon suami kamu nanti bisa ngerti lah dia laki-laki yang punya pendidikan tinggi. Lulusan S2 Mesir." Ucap papaku bangga padanya.
Aku hanya terdiam menunduk sambil mengaduk-aduk makananku. Aku sangat kesal mengapa jaman modern masih ada perjodohan. Ini bukan jaman Siti Nurbaya, aku gadis modern apa kata orang jika aku nikah karena dijodohkan.
"Nak, benar kata papa kamu beruntung bisa memiliki pendamping seperti nak Indra. Nak Indra sudah menerima perjodohan ini. Kamu mau kan nak?" tanya mamaku meski dengan lembut namun mampu menusuk ulu hatiku.
"Terserah papa mama." Jawabku dengan kesal lalu beranjak meninggalkan mereka.
Papa mama tampak bengong dan bingung dengan sikapmu. Melihat ke arahku yang mengambil kunci mobil dan bergegas ke luar rumah dengan wajah yang cemberut karena marah.
"Ninda, kamu mau ke mana nak?" mamaku berusaha mengikutiku, sedangkan papaku masih duduk di meja makan dengan perasaan bingung dan menatap ke arah kami berdua.
"Nak, jangan gitu dong. Ayo kita bicarakan baik-baik!" bujuk mamaku tapi, aku tak menghiraukan dan masuk ke dalam mobil. Menyalakan mobil lalu meninggalkan mamaku yang berdiri di depan pintu.
Satpam membukakan pagar, aku melesat dengan cepat dan hilang dari pandangan mamaku yang masih tampak bingung dengan sikapku.
"Apa-apaan ini, Indra Indra laki-laki culun itu. Dari penampilan bukan gue banget, kenapa mama papa tega sih." Gerutuku sepanjang jalan.
"Kalau dilihat-lihat dia kayak ustadz, kenapa bisa mau dijodohin sama gue yang penampilan kayak gini. Bukannya kriteria laki-laki seperti dia wanita yang tertutup? Munafik banget"Aku terus menggerutu sepanjang jalan.
Aku memperlambat kecepatan mobilku. Aku menepi di pinggir jalan berhenti di bawah pohon yang rindang. Aku menjatuhkan kepalaku di setir mobil, rasanya kepalaku terasa pusing.
"Hihhh, kenapa sih nasib aku kayak gini." Aku memukul-mukul setir mobil. Hatiku terasa sangat sakit.
Di dalam tas ponselku terus berdering. Aku membiarkannya, aku tau jika yang menghubungiku adalah mama yang khawatir karena aku pergi dengan keadaan marah.