بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
"Boro-boro mikirin anak, jodoh saja belum kelihatan batang hidungnya."
Saat jam sudah berdenting di angka tujuh aku segera bergegas untuk berangkat ke tempat kerja. Abi sudah menunggu di atas motor bebeknya dan siap untuk mengantarku ke tempat tujuan. Sejak lulus sekolah dan memutuskan untuk bekerja Abi memang sudah seperti sopir pribadi yang siap antar jaga. Awalnya aku menolak dan lebih memilih untuk menggunakan angkutan umum, tapi Abi melarang dan begitu berlebihan dalam menjagaku.
Cara memperlakukan Abi dan Umi begitu beda padaku. Mereka cenderung sangat posesif dan tak mengizinkanku untuk pergi dengan sembarang orang tanpa pengawasan. Padahal aku anak sulung yang seharusnya tidak terlalu diprioritaskan. Sedangkan Riska dan Saras, mereka diperlakukan sebagaimana mestinya. Tidak terlalu dikekang tapi juga tidak dibiarkan bebas berkeliaran. Entah aku yang merasa dispesialkan atau memang benar begitu adanya.
"Bekal makan siangnya ketinggalan," ucap Umi terlihat ngos-ngosan. Aku yang akan menaiki motor langsung urung dan berjalan menghampiri Umi yang terlihat tengah mengatur napas.
"Maafin aku yah, Mi gara-gara lupa jadi bikin susah Umi," kataku tak enak hati. Di tempat kerja memang sudah disediakan makan siang, tapi karena lidahku yang tak cocok alhasil Umilah yang selalu rajin menyiapkannya.
"Gak papa, Sayang Umi juga tadi yang lupa dan malah asik nyuci baju," sahut Umi dengan belaian lembut di puncak kepalaku.
"Jaketnya mana? Kenapa gak dipake? Kalau masuk angin gimana? Kebiasaan kamu dari dulu gak pernah berubah," omel Umi yang kubalas dengan kekehan.
Aku memang paling malas jika harus mengenakan pakaian hangat berbahan tebal tersebut. Aku hanya memakai benda itu jika hujan mulai turun, atau kalau cuaca yang tidak mendukung. Jika matahari pagi sudah bersinar dengan terik seperti ini aku tak ada minat untuk menggunakannya. Gerah.
"Di tas, Mi nanti kalau hujan baru aku pake," jawabku yang beliau balas dengan gelengan.
"Harus jaga kesehatan kamu teh. Jangan karena ngerasa badan fit bisa seenak jidat kaya gitu. Mencegah lebih baik daripada mengobati," peringat Umi yang kusambut anggukan.
"Ya udah aku berangkat dulu yah, Mi assalamualaikum," pamitku seraya mencium punggung tangan beliau.
"Wa'alaikumussalam, hati-hati di jalan," sahutnya sebelum mendaratkan sebuah kecupan singkat di kedua pipiku. Kecupan penuh sayang yang setiap pagi tak pernah beliau lewatkan.
Abi yang sudah bersiap untuk menjalankan motor dihentikan secara paksa oleh Mirza, suaminya Saras yang berlari tergopoh-gopoh dengan keringat yang sudah bercucuran. Jarak tempat tinggal Saras hanya terhalang sekitar lima rumah saja dengan kediaman Abi dan Umi.