Cinta Tapi Diam

Indriastori_
Chapter #3

3 | Calon Suami?

"Melihat rupa lelaki itu saja belum pernah dan sekarang dengan enteng Abi langsung mengklaim bahwa dia adalah calon suamiku?"

•••

Sepanjang perjalanan aku dibuat kesal karena jalanan yang penuh sesak oleh kendaraan. Beginilah jika berangkat terlalu siang, risiko macet itu pasti akan selalu terbayang. Entah sudah berapa lama motor yang aku dan Abi tumpangi hanya berdiam diri di tengah kerumunan kendaraan lainnya. Melirik arloji sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku sudah telat satu jam, dan itu karena ulah si bungsu yang tengah hamil besar.

Rasanya aku ingin memarahi anak itu sekarang juga. Aku ini termasuk karyawan teladan yang tak pernah bolos tanpa alasan, bahkan telat saja tidak pernah. Tapi sekarang aku sudah mencoreng citra baik yang sudah kubangun bertahun-tahun itu. Akan percuma saja jika terus memaksakan diri untuk berangkat ke tempat kerja, karena pada akhirnya pasti takkan diperbolehkan masuk oleh pak satpam. Dan jika pun sekarang putar balik untuk pulang, itu tidak mungkin karena baik dari arah depan maupun belakang sama-sama macet dan tak bisa bergerak sedikit pun.

"Mau lanjut apa pulang, Nak?" seloroh Abi seraya menoleh ke belakang.

Wajahku yang sedari tadi sudah tertekuk kesal bertambah muram karena mendengar pertanyaan Abi. "Terserah Abi aja," jawabku dan segera tenggelam di balik punggung lebarnya. Tanganku sengaja disusupkan pada saku jaket yang beliau kenakan.

Aku merasakan elusan lembut Abi di punggung tangan sebelah kananku. "Kita pulang aja yah. Kalau urusan kerja kan bisa izin dulu," tuturnya. Aku tak menjawab dan lebih memilih untuk menumpukan dagu di salah satu bahu Abi.

Netraku melihat ke arah depan di mana suasana jalanan sudah mulai sedikit lebih kondusif dan bisa dilalui. Tak lama motor yang kutumpangi pun berjalan dengan perlahan dan sedikit tersendat-sendat karena ulah beberapa pengendara yang rusuh saling salip-menyalip. Sepertinya Abi memilih untuk menerobos kemacetan dan mencari jalan lain untuk pulang, karena jika untuk putar balik sangat sulit sebab kendaraan dari arah belakang yang begitu padat merayap.

Suara gawai yang berada di dalam tas selempang berukuran sedang milikku berbunyi tanda ada sebuah panggilan masuk. Dengan malas aku pun merogoh benda pintar tersebut, dan di sana tertera nama Umi yang menghubungi.

"Wa'alaikumussalam, iya kenapa Umi?" tanyaku sekaligus menjawab salam beliau.

"Iya ini lagi perjalanan pulang kok, Mi," balasku pada saat beliau meminta untuk kembali pulang karena Saras benar-benar sudah ingin melahirkan. Anak itu sangat menyusahkan sekali, kerjaannya hanya membuat tensi darahku melambung tinggi.

"Oh di rumah sakit yah, Mi? Iya ... Iya ... Tahu kok kalau rumah sakit itu mah," sahutku saat mendengar Umi melarang untuk pulang ke rumah dan meminta untuk langsung ke rumah sakit saja.

"Iya wa'alaikumussalam, Mi." Aku segera memutus panggilan tersebut dan kembali memasukkan benda canggih berlayar pipih itu ke dalam tas.

"Masih macet yah, Bi? Tumben banget sampe sepanjang ini. Kata Umi Saras mau ngelahirin, Bi," beritahuku saat motor yang Abi kendarai kembali berhenti.

"Iya gak kaya biasanya. Mungkin ada kecelakaan atau apa gitu Abi juga kurang tahu. Beneran mau melahirkan dia? Apa cuma kontraksi palsu lagi kaya tadi?" tanya Abi.

Lihat selengkapnya