“Gimana, Sil?” Agus menatap Sisil.
Oka yang tidak berani memandang Sisil, merundukkan kepala hingga dahinya menyentuh meja. Bahkan jika bisa, dia ingin menghilang saja dari muka bumi. Atau disedot UFO dan menjadi tahanan alien di planet asing.
Kenapa Agus seenak jidat bilang begitu tanpa bicara dulu dengannya? Mana bawa-bawa namanya pula! Mau ditaruh mana mukanya karena tidak berani bicara langsung? Dia seperti pengecut dan itu sama sekali tidak keren!
Sudahlah. Sepertinya Oka sudah pasrah. Apa pun jawaban atau apa pun anggapan Sisil padanya, dia sudah bersiap menerimanya. Membayangkan tatapan aneh Sisil padanya, Oka semakin ingin menangis. Awas lu, Gus! makinya dalam hati.
“Oh. Boleh sih. Kebetulan aku juga mau cari barang.” Tak disangka Sisil langsung setuju sehingga membuat Agus melongo. Terlebih Oka. Dia langsung duduk tegak dengan mata terbelalak lebar, seakan tidak percaya dengan pendengarannya.
Kok gampang banget?! Oka berteriak kegirangan dalam hati. Kalau bukan di tempat umum, dia pasti sudah melompat-lompat saking senangnya. Benar-benar tidak terduga, rencana Agus berhasil. Sepertinya dia harus mentraktir Agus lebih sering sebagai ucapan terima kasih.
“Ya, udah. Ntar kabar-kabari lagi, ya, Ka. Aku ke kelas duluan. Bye!” Sisil meninggalkan senyum sebelum pergi.
Oka yang masih takjub hanya bisa mengangguk-angguk dan mengejapkan mata. Masih tidak percaya Sisil menerima ajakannya. Mereka memang dekat, tapi hanya sebatas mengobrol dan makan di sekitar kampus. Itu pun kalau tidak direcoki Agus.
Sudah lama Oka ingin mengajak Sisil keluar, jalan-jalan ke mal, atau ke mana saja, asal bukan di area kampus dan sekitarnya. Ya, bisa dibilang ajakan kencan. Tapi, mengumpulkan keberanian itu sulit bagi Oka. Kekhawatirannya ditolak dan membuat hubungannya dengan Sisil renggang, lebih besar. Dia tidak mau mengambil risiko setelah bersusah payah mendekati gadis itu.
“Heh, ngelamun aja!” Tepukan, lebih tepatnya dorongan keras di bahu Oka membawanya kembali pada kenyataan. “Seneng lu sekarang?”
Oka tidak bisa lagi menyembunyikan kebahagiaannya. “Berhasil, Gus! Berhasil!” serunya dengan tawa lebar. Dia benar-benar melompat-lompat seperti anak kecil yang diberi hadiah. Tak lupa, dia memeluk Agus berkali-kali, tak peduli mereka menjadi tontonan pengunjung kantin.
Agus akhirnya berhasil menghindar dan menahan wajah Oka dengan tasnya. “Stop, Ka! Bikin geli aja!” katanya sambil bergidik.
Oka hanya tertawa. Rencananya yang ingin pulang dan bolos kuliah, berubah. Dengan senang hati dia menarik Agus dan berkata, “Yuk, kuliah yang rajin!”