Oka dan Agus baru saja keluar dari kantin. Mendadak Agus menjawil-jawil lengan Oka yang sedang memegang makanan. “Ka! Ka! Lihat, Ka! Arah jam tiga!” katanya bersemangat. Otomatis pentol yang hendak masuk ke mulut Oka malah terjatuh.
“Yaaah jatuh, Gus! Gara-gara lu nih!” sungut Oka sambil menatap prihatin campuran tepung dan daging berbentuk bola yang menggelinding di lantai. Perjalanannya ternyata cukup panjang, dari menabrak kaki kursi, ditendang kaki lain, membentur lagi di batas tembok, sebelum akhirnya berhenti di dekat tempat sampah. Mungkin benda mati itu mengerti tempat akhirnya setelah tidak berguna bagi manusia adalah berada di tempat sampah. Namun, nasib berkata lain. Dia berhasil menjadi pengisi perut lapar kucing belang yang tiba-tiba muncul, mengendusnya sebentar, kemudian melahapnya. Kucing itu pun pergi.
“Ah, elu, Ka, telat!” Agus ikut mengomel juga.
“Apaan sih? Kok lu ikutan ngomel?” Oka berdecak kesal dan menyuap pentol lagi ke mulutnya.
“Itu ….” Agus menunjuk arah yang disebutnya tadi. “Ada cewek cakep, Ka!”
“Mana?” Oka ikut melongok tapi yang ada hanya kerumunan mahasiswa lain. Tidak tampak sosok cakep yang dikatakan Agus.
“Lu telat! Makan mulu sih!”
“Makan itu lebih penting, Gus! Dengan makan, otak dan tubuh kita dapat asupan gizi. Jadi bisa gerak dan mikir.” Ocehan Oka seolah seperti profesor sedang bicara itu, sontak membuat Agus mual.
Sahabat Oka sejak SMU itu menunjukkan gejala ingin muntah. Mata mendelik, dua pipinya menggembung, diakhiri dengan suara “hoek” yang berlebihan. Tapi, tidak ada apa pun yang keluar dari mulutnya.
“Kenapa lu? Hamil?” ejek Oka sinis. Dia sudah cukup memahami sikap Agus. Sebaliknya, Agus juga sangat memahami Oka. Lima tahun bersahabat, walau tanpa disengaja, cukup membuat keduanya saling mengenal luar dan dalam.
“Ngomong aja tinggi, tapi nggak sebanding sama kelakuan. Lu suka makan, tapi tidur mulu. Lu pinter, tapi nggak pernah dipakai buat yang berguna!”
Oka tertawa.