Di semester satu itu, Oka masih cukup rajin kuliah. Dari pagi hingga siang, bahkan sore, masih terlihat berseliweran di sekitar kampus. Kalau tidak di gedung C, gedung W, ya di kantin. Kalau tidak sedang sendirian, ya bersama Agus.
Kala itu sebuah kesempatan datang. Berjarak dua minggu dari pertemuan pertamanya, Oka yang kebetulan sedang sendirian, bertemu Sisil lagi. Lebih tepatnya, Sisil yang menyapa lebih dulu saat berpapasan di depan kantin.
“Hai!” sapa Sisil ramah. “Kamu yang waktu itu, ‘kan?”
Sayangnya, Oka tidak mendengar. Dia sibuk menyusuri isi buku yang terbuka di tangannya. Kacamatanya pun sedikit melorot.
“Hai!” Sisil menyapa lagi. Kali ini dia berhenti tepat di depan Oka dan melambaikan tangan di antara wajah dan buku. Barulah Oka sadar dan mendongak. Saking terkejutnya, Oka sampai melompat mundur dan Sisil tertawa.
“Si-Si-Sisil?!” Oka segera menutup buku dan membetulkan letak kacamatanya.
Tawa Sisil menghilang. “Kamu tahu namaku?”
Oka gelagapan dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ah … itu ….”
“Kamu pasti tahu dari anak-anak lain, ya?” Sisil kembali mengulas senyum lalu mengibaskan tangan dengan gusar. “Entahlah, kenapa banyak banget yang tahu namaku, sok kenal sama aku, padahal aku nggak kenal. Kembang kampus? Ada-ada aja.”
“Mungkin karena kamu cantik.” Sejatinya Oka mengatakan itu pada dirinya sendiri.
“Hah?”
“Oh, nggak. Nggak apa-apa.”
Sisil mengembuskan napas panjang. “Ya, gara-gara itu jadi banyak banget nomor asing masuk ke hapeku. Ngajak kenalan lah, mau kasih hadiah lah. Macem-macem deh pokoknya.”
“Kamu … nggak suka?” Hati-hati Oka bertanya. Dia cukup terkejut Sisil seperti sedang mencurahkan isi hatinya, padahal mereka baru bertemu dua kali.
“Seneng karena jadi banyak temen. Tapi, risih juga kalau tiap hari begitu. Oh, sori. Aku jadi ngomong yang aneh-aneh.” Sisil menutup mulutnya. Tampak terkejut sendiri.
“Oka.” Oka tiba-tiba mengulurkan tangan.