Oka keluar dari gedung tiga lantai yang didominasi warna putih itu dengan senyum getir. Hasil yang dia dapat dari menjual hapenya tidak sesuai harapan.
“Nggak bisa nambah lagi, Mas?” tanya Oka. Dia menatap sayang pada hape yang sudah dimilikinya sejak SMP.
Si penjaga toko mengamat-amati hape berdesain semi-flip di tangannya lalu menggeleng. “Nggak bisa, Mas. Ini hape lama. Saya kasih itu udah harga mentok. Lagi krismon begini, harga-harga naik. Belum tentu orang mau beli hape bekas dengan harga segini. Bisa-bisa saya yang rugi, Mas,” katanya.
Mau tak mau, Oka merelakan harga jual hape miliknya turun drastis dari belasan juta menjadi beberapa juta saja. Dia harus cukup puas dengan jumlah itu. Setidaknya, hatinya bisa sedikit lebih tenang karena uang semesteran dan SPP adik-adiknya bisa tercukupi. Dia juga sudah menghubungi operator telepon miliknya dengan meminjam telepon toko tadi. Untuk waktu yang tidak ditentukan, nomor yang dia gunakan tidak akan bisa dihubungi, alias tidak aktif.
“Hidup nggak pakai hape juga nggak bakalan mati, ‘kan? Yang penting bisa makan,” katanya pelan lalu pulang.
Hari ini, Oka sudah menuntaskan tugasnya. Uang yang diminta Evan dan Anon sudah diberikan. Dia juga sekaligus memberikan uang saku untuk sebulan, dengan catatan harus dihemat. Mereka sekeluarga harus melakukan penghematan besar-besaran.
“Maaf, ya, Ka, kamu jadi bertanggung jawab untuk semuanya,” kata Papa Oka dengan nada sedih. Dia merasa tidak berdaya karena penyakitnya. Keran penghasilan mendadak dimatikan, sementara kebutuhan tetap berjalan.
Oka mengangguk pelan sambil duduk menonton televisi di kamar orang tuanya. Meski tatapannya tertuju pada televisi, tapi pikirannya tidak di sana. Saat dia masuk tadi, ayahnya menyambut dengan senyum lemah. Dia juga bisa melihat beberapa titik hitam bekas jarum suntik cuci darah di lengan kanannya. Badan yang dulu bugar dan berisi, menjadi kurus hanya dalam waktu singkat.
“Jadwal berikutnya biar Oka yang anter Papa. Sayang, kalau mesti bayar sewa sopir terus,” kata Oka.
“Nggak apa-apa lah. Mereka juga butuh kerja. Lagian kamu juga mesti kuliah.” Papa Oka menolak.
“Kita juga butuh duit, Pa! Bukan nggak mau nolong mereka yang butuh kerja, tapi kita sendiri juga perlu ditolong! Jumlah sekecil apa pun itu berarti,” tegas Oka. Dia merasa kesal dan sebal karena papanya seolah tidak bisa memahami situasi. Masih saja dengan pemikiran idealisnya. Padahal ini bukan saatnya berpikir ideal, tapi realistis!
“Oka bener, Pa.” Mama Oka tiba-tiba menyahut diiringi derit pintu yang mengarah ke balkon. Dia masuk dengan membawa keranjang kosong yang sebelumnya berisi baju basah untuk dijemur. “Bakal lebih hemat kalau dianter Oka. Uangnya bisa dipakai untuk yang lain. Kasihan anak-anak kena imbasnya,” tambahnya setelah meletakkan keranjang di dekat pintu lalu duduk di samping suaminya.