“LU GILA, KA! KENAPA BARU NGOMONG SEKARANG?!”
Teriakan Agus begitu keras sampai Oka berpikir gendang telinganya akan pecah. Karena itu, dia sengaja menjauhkan badannya hingga mepet ke jendela mobil.
“Lu nggak tahu kalau aku khawatir? Aku udah curiga dari sejak lu ninggalin Sisil! Pasti ada apa-apanya karena ini bukan lu banget! Asem lu, Ka!” Agus masih mengomel. Saat itu mereka sedang berada di mobil Oka yang akhirnya menceritakan semua masalahnya. Dan beginilah reaksi Agus.
Oka sudah menduga reaksi Agus akan seperti ini. Marah-marah dan mengomel. Mungkin kalau hanya mengomel dan sekadar ucapan saja tidak masalah. Tapi tangan Agus begitu ringan hingga memukul-mukul bahu, paha, dan lengan Oka.
“Kaget ya kaget. Kenapa tangan lu ikut gerak juga?” keluh Oka sambil mengelus bagian tubuhnya yang terasa panas.
“LU SIH!” Agus mendelik sampai bola matanya seakan ingin keluar. Dia lalu melanjutkan teriakannya dengan kesal. Tidak terima karena baru mengetahui masalah pelik sahabatnya. “Masalah penting gini kok lu nggak cerita? Lu anggap aku apa?!”
“Yang pasti bukan pacar dong!”
Agus mendelik lagi. Kali ini hendak menonjok wajah Oka yang cengengesan, tapi urung karena teringat pembicaraan mereka yang penting.
“Ya, aku nggak mau repotin lu, Gus,” ujar Oka pelan.
Agus membuka dan menutup mulutnya, tapi tidak ada kata yang keluar. Dia cukup memahami alasan Oka. Meski begitu, kekesalannya tetap perlu diluapkan.
“Terus, sekarang apa rencana lu?” tanya Agus akhirnya.
“Cari kerja. Apa aja yang penting dapet duit.” Oka menjawab dengan pandangan menerawang.