Sesuai janjinya pada Agus, Oka datang ujian tepat waktu. Meski beberapa kali menguap dan mengucek-ucek mata hingga merah, dia berusaha untuk tetap fokus mengerjakan soal ujian. Di sela-sela waktu sebelum ujian dimulai, Oka juga rajin bertanya-tanya tentang hal yang masih membingungkannya. Sekalipun dia selalu membanggakan diri atas keenceran otaknya, tetap saja ada masa dia membutuhkan bantuan. Terutama hal-hal yang masih baru atau asing baginya.
“Lu bilang bisa sendiri, kok masih tanya-tanya?” omel Agus saat Oka mendatanginya dengan menyodorkan berkas fotokopian.
Oka tertawa. Dia tahu sahabatnya itu hanya bercanda karena memang salahnya sendiri selalu menyombongkan diri. “Ah, elu, kayak nggak tahu aja. Meski encer, otak ini perlu juga diaduk biar kecampur rata.”
Agus mencibir dan akhirnya tertawa. Dengan senang hati dia kemudian membantu Oka. Melihat kesungguhan dan kegigihan Oka, dia yakin sahabatnya itu bisa menyelesaikan dengan baik dan mendapatkan hasil yang baik pula. Meski berharap IP tiga koma itu rasanya hal yang mustahil, yang penting dia sudah berusaha keras.
Dengan berakhirnya masa ujian, Oka bisa tenang dan bernapas lega. Dia memfokuskan diri dalam bekerja selama liburan semester, kecuali saat harus mengantar papanya ke rumah sakit. Kalau ditanya, dia akan menjawab dengan bertele-tele.
“Liburan gini mau ke mana, Ka?” tanya Mama Oka ketika melihat putra sulungnya langsung berganti pakaian dan buru-buru keluar lagi. Padahal saat itu mereka baru tiba di rumah setelah dari rumah sakit.
“Mau ke tempat Agus,” jawab Oka berbohong. Terpaksa sih.
“Dia nggak liburan? Papa Oka ikut bertanya.
“Nggak. Kayaknya enggak sih. Kemarin dia bilang enggak. Nggak tahu juga. Yang penting ke sana dulu deh.”