“Jadi ….” Sisil bersuara setelah mengambil dan membuang napas berkali-kali. Matanya menatap lurus pada Oka yang duduk di seberangnya.
Oka yang tidak bisa kabur dan menghindar lagi dari Sisil, akhirnya mengakui semuanya pada Sisil. Dia menceritakan permasalahan yang dihadapinya dan alasan mengapa dia menghilang tanpa kabar waktu itu. Dan kini, dia sudah siap dengan segala risikonya.
Kepala Oka menunduk dalam, memandang gelas teh yang berembun dan menyisakan seperempat isinya. Jarinya saling bertaut di pangkuan yang bergerak gelisah. Dia tidak berani mendongak.
Ah, sialan lu, Gus. Bikin aku mati kutu aja! gerutunya dalam hati. Tapi, paling tidak, dia bisa melepas rindu bertemu dengan gadis itu, walau yang dilakukannya hanya mencuri-curi pandang sedikit.
“Sekali lagi, aku minta maaf, Sil! Beneran minta maaf dari lubuk hati paling dalam!” kata Oka buru-buru ketika melihat Sisil hendak membuka mulutnya. “Sori, aku memang pengecut. Bisanya menghindar …,” lanjut Oka pelan, merasa malu dengan tindakannya.
Embusan napas Sisil terdengar. Gadis itu mengambil gelas dan menyeruput sedikit es kopinya. “Jadi … kalau Agus nggak punya rencana begini, kamu nggak bakal nemuin aku?” tanyanya.
Oka bingung. Satu tangannya menggaruk-garuk kepala, dan satunya lagi meremas ujung kausnya.
“Ya … nggak gitu juga sih. Aku sebenernya juga mau ketemu kamu. Mau ngomong semuanya. tapi—"
“Kapan? Kapan kamu mau ngomong kalau nggak diginin dulu?” sela Sisil. Terlihat raut kecewa di wajah cantiknya.
“Aku bingung ngomongnya. Takut kamu ….” Oka urung melanjutkan kalimatnya begitu melihat Sisil mendelik.
“Terus, kamu maunya gimana?” tegas Sisil.
“Ya … nggak gimana-gimana. Cuma ngelakuin apa yang harus aku lakuin. Kamu tahu sendiri, biaya cuci darah itu nggak sedikit, Sil. Adik-adikku juga masih sekolah.” Oka menampakkan wajah frustrasinya. “Kalau aku nggak kerja—"
“Jangan dipendam sendiri, Ka,” sela Sisil. Nada suaranya melunak. “Kamu mungkin nggak mau ngerepotin orang lain. Tapi, nggak semua bisa kamu pendam sendiri. Bisa pecah kepalamu nanti.”
Oka mengangguk dan Sisil tersenyum.
“Ah, udah jam segini. Aku balik dulu, ya, Ka. Ada janjian sama temen.” Sisil berdiri dan merogoh tasnya untuk mengambil dompet. “Aku yang traktir kali ini,” lanjutnya sambil berjalan ke kasir.
“Nggak usah, Sil.” Cepat-cepat Oka mendahului Sisil ke kasir. “Aku masih sanggup bayar kok,” katanya sambil tersenyum. Dia tidak ingin harga dirinya yang sudah jatuh, diinjak lagi, meskipun dia tahu Sisil tidak berniat seperti itu. Gadis itu hanya ingin membantunya. Tapi, gengsi dan ego Oka sebagai laki-laki tidak mengizinkannya.
“Thank’s,” jawab Sisil.
“Lain kali aku traktir yang layak. Lebih enak dan lebih banyak.” Oka mengeluarkan uang dan membayar.