Sejak diterima menjadi asisten dosen Pak Kamto, pamor Oka meningkat bahkan mendapat julukan baru. Jika dulu dia dikenal sebagai mahasiswa nasakom, kini berubah menjadi asdos jenius.
Kelas yang diajar Oka selalu penuh, bahkan ada permintaan untuk membuka kelas baru. Mereka penasaran, bagaimana bisa, seorang mahasiswa Teknik Sipil yang langganan nasakom dan nyaris di-D.O itu menjadi asisten dosen di jurusan Teknik Informatika. Secara keseluruhan, jelas dan pasti, Oka tidak qualified. Seharusnya Oka tidak diterima. Mereka yang penasaran sempat diliputi keraguan, apakah sosok yang seperti itu mampu mengajar. Hasilnya di luar dugaan. Oka sangat mampu dan cakap.
Dibayar per jam saat mengajar, Oka memaksimalkan waktu yang ada sebaik-baiknya. Dia mengajar di sela-sela jam kosong kuliahnya, terkadang ikut menjaga studio, dan bisa seharian berada di kampus.
Berkat hal itu, kehidupan Oka sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Hasil yang diperoleh dari mengajar cukup lumayan. Setelah dipotong biaya hidup yang lain, dia masih bisa menyisihkan untuk tabungan. Dia tidak perlu lagi bekerja di toko malam harinya agar memiliki waktu untuk belajar. Sesekali dia dan adik-adiknya melakukan panggilan internasional untuk berbicara dengan orang tua mereka.
“Udah dapet donornya, Pa?” tanya Oka suatu malam.
“Belum. Kapan hari sempat ada, tapi ternyata nggak cocok.” Nada kecewa Papa Oka terdengar di ujung telepon.
“Sabar dulu, Pa.” Anon menyahut di dekat telepon.
“Kapan baliknya, Ma, Pa?” Evan ikut bertanya sambil menarik gagang telepon dari tangan Oka.
“Masih belum tahu. Doakan saja segera ada donor yang cocok, jadi bisa cepet pulang. Kangen sama kalian,” jawab Mama Oka.
“Mama Papa nggak usah khawatir. Fokus di sana aja dulu. Biar Oka yang jaga mereka,” ujar Oka setelah berhasil merebut telepon dari Evan. Satu tangannya bermain memintir-mintir kabel telepon. “Oka ada kerjaan yang nggak ganggu kuliah. Hasilnya lumayan. Masih cukuplah untuk sehari-hari.”
“Makasih banyak, ya, Ka. Kami udah ngerepotin kamu.” Mama Oka terdengar sedih tapi sekaligus merasa bersyukur.
“Udah jadi tugas Oka sebagai anak pertama.”
“Ya, udah. Selesai dulu teleponnya, nanti tagihannya bengkak. Nggak usah sering-sering telepon. Selama belum ada kabar, ya masih menunggu dulu. Udah, ya.”
Telepon pun ditutup.
“Ternyata lama, ya,” keluh Evan dengan wajah sedih.
“Kan Om Tedi waktu itu udah bilang nggak pasti. Jadi, nggak usah ngarepin cepet.” Anon menegur dengan nada tegas.
“Iya. Tapi, ternyata nggak enak juga nggak ada Mama sama Papa. Jadi kangen ….” Evan menundukkan kepala.
“Halah! Paling kangen diajak jalan-jalan sama Mama Papa,” protes Anon dan langsung membuat Evan mendelik.
Tiba-tiba Oka mendapat ide. “Eh, ngomong soal jalan-jalan, gimana kalau Sabtu atau Minggu nanti, kita jalan-jalan?” Usulan itu membuat mata Evan berbinar tapi langsung meredup saat Oka melanjutkan, “Tapi, nggak bisa jauh-jauh. Dalam kota aja. Ke mal gitu.”