
Awal tahun 1944 – Ninti, sebuah desa di pedalaman Kalimantan Barat.
Seorang gadis berlari di tengah hujan, darah di ujung jari, dan suara tembakan di kejauhan.
“Nara!”
Suara itu menerobos derasnya hujan. Senara menoleh cepat. Nafasnya berat, tubuhnya dingin dan basah kuyup. Jejak lumpur menodai kain bajunya yang setengah robek. Matanya menatap panik ke belakang, ke arah suara kakak lelakinya.
“Jangan ke sana! Masih bahaya!” seru Muzaffar, matanya liar menyapu sekeliling, senapan kayu tergantung di bahu. “Kau bisa terbunuh!”
“Masih ada yang terluka, Bang! Aku Cuma mau—“
“Kau sudah lihat sendiri apa yang mereka lakukan! Mereka tembak siapa saja yang mendekat!” sergah Muzaffar, menggenggam lengan adiknya erat. Tapi Senara hanya menggigit bibirnya, menunduk sebentar.
“Aku janji akan hati-hati... sungguh. Aku tak bisa diam di rumah saat tahu ada orang sekarat di luar sana.”
Muzaffar menatap mata adiknya dalam-dalam. Ada keras kepala yang familiar seperti dia. Akhirnya ia melepaskan pegangan itu.
“Kau tetap di batas sini. Jangan masuk ke jalur utama. Dengarkan aku, Nara. Aku tak akan maafkan diriku kalau kau...”
Senara mengangguk cepat. Bibirnya bergetar menahan dingin. Hujan masih menari di sekeliling mereka. Dan detik berikutnya, Muzaffar kembali berlari, membawa kelompok kecil warga yang bersenjata seadanya.
Senara bersembunyi di balik batang pohon besar, napasnya mengendap. Ia menunggu sampai benar-benar yakin tidak ada suara tembakan lagi. Baru setelah itu ia melangkah, diam-diam menyusuri jalur becek menuju perbatasan desa.
Mayat berserakan. Suara ringkih dari para yang sekarat membuat langkahnya makin cepat.
Tangan Senara gemetar ketika ia mengangkat kepala seorang lelaki tua yang berlumuran darah, memberinya air, lalu menutup matanya saat ia berhenti bernapas. Di sekelilingnya, aroma besi dan tanah basah membaur dengan darah dan kabut.
Senara terus menyusuri tepian hutan. Langkahnya membawa ke rerumputan tinggi yang mengarah ke jurang kecil. Di sana, di bawah naungan pohon besar, ia melihat sosok bersandar—terluka parah, seragamnya kotor dan basah. Merah-putih dari lambang Matahari Terbit masih tergantung lemas di lengannya.
Tentara Jepang.