
Malam harinya, Senara tidak bisa tidur.
Sejak ia kembali dari tepian jurang itu, bayangan wajah lelaki Jepang yang terluka terus menari dalam benak. Wajah pucatnya. Luka di perutnya. Tatapan penuh kelelahan yang tak sempat bicara. Dan suara rintih pelan yang membuatnya ingin menjerit, tapi juga tak mampu berpaling.
Jika lelaki itu mati malam ini karena ia tak kembali, Senara tak akan maafkan dirinya sendiri.
Ia memutar tubuh di atas tikar, memejamkan mata, lalu membukanya lagi. Di luar, angin membawa bau tanah basah dan daun yang membusuk. Tapi tidak ada suara langkah siapa pun.
Muzaffar belum pulang. Sejak sore tadi, kakaknya itu ikut ronda malam bersama warga yang menjaga batas desa. Satu-satunya pelindung yang biasanya tak pernah jauh darinya… kini tidak ada.
Kesempatan.
Senara duduk perlahan, lalu bangkit menyusuri dinding bambu, dan mengintip lewat celah jendela.
Gelap. Aman. Senyap.
Dengan hati-hati, ia membuka kotak kecil tempat menyimpan kain balut dan botol antiseptik tradisional. Meraih keranjang anyaman tua yang biasa ia bawa saat mencari daun sembung atau akar ilalang. Kalau pun ketahuan, ia bisa bilang sedang mencari daun untuk sakit kepala pasien.
Bidan Tuwe juga pernah menyuruhnya keluar malam-malam demi ramuan semacam itu. Jadi tak akan terlalu mencurigakan.
Ia mengikat rambut, lalu melangkah keluar lewat pintu belakang. Angin malam menggigit kulit, tapi langkahnya mantap. Ia tahu, ini berbahaya. Tapi luka di perut lelaki itu terlalu dalam. Mungkin balutannya sudah basah, dan infeksinya sudah naik.
“Kalau dia mati... karena aku tak kembali tepat waktu...”
Senara menggigit bibir. Ia mempercepat langkah menyusuri jalan kecil menuju hutan. Cahaya redup dari bulan yang tertutup awan tak banyak membantu, tapi ia hafal jalur ini.
Ini bukan pertama kali ia menolong orang di tengah malam. Sejak jadi relawan, ia pernah berjalan ke rumah dukun tua, ke pinggir sungai, bahkan ke gubuk di kaki bukit demi seorang bayi yang demam tinggi.
Tapi kali ini berbeda.
Yang ia tolong adalah musuh. Yang ia pertaruhkan bukan Cuma nyawanya, tapi juga kehormatan keluarga.
Tapi kenapa... kenapa ia tidak takut?
Senara berjalan pelan di antara semak, napasnya menahan gugup. Ia tak tahu apakah lelaki itu masih hidup. Atau masih di sana. Atau... sudah ditemukan warga dan nasibnya berakhir di ujung senapan.
Namun ketika sampai di tempat yang sama, ia mendapati tubuh itu masih ada. Masih bersandar. Masih bernapas.