
Renji membuka mata, baru sadar bahwa ia mencengkeramnya. Ia melepas cepat-cepat, matanya penuh permintaan maaf. Tapi Senara tetap duduk di tempat, tak lari, tak menjauh. Ia hanya mengelus pelan punggung tangannya yang mungkin terasa sakit.
“Kalau kau mati... aku akan jadi orang bodoh yang merawat musuh yang tak selamat,” gumamnya, mencoba bercanda, walau matanya tetap cemas.
Renji justru tersenyum samar. “Bukan... musuh,” katanya pelan.
Senara mendongak. “Apa?”
Renji menatap matanya dalam-dalam. “Kau... penyelamatku.”
Suasana menjadi sunyi. Hutan di sekeliling mereka hanya diisi suara serangga malam dan gemerisik dedaunan. Tapi di antara dua orang dari bangsa berbeda itu... ada sesuatu yang tumbuh diam-diam.
Sebuah pengakuan tanpa suara.
Senara menyodorkan makanan. “Makanlah. Kalau kau kuat... aku akan bantu cari jalan ke tempat lebih aman.”
Renji mengangguk. Ia makan perlahan, hanya beberapa suap, tapi cukup untuk memberinya tenaga. Setelahnya, Senara menyandarkan tubuh ke pohon, duduk di sampingnya. Ia tahu tak mungkin kembali ke rumah malam ini tanpa menimbulkan kecurigaan.
“Aku akan berjaga sebentar. Kalau ada yang datang... aku akan dengar lebih dulu.”
Renji melirik pelan ke arah gadis itu. Wajahnya basah karena hujan yang belum benar-benar kering. Tapi matanya... menyala dengan sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Kau... baik sekali,” gumamnya.
Senara menoleh, lalu mengangkat bahu. “Kau bilang tadi... aku penyelamatmu. Mungkin itu cukup untuk satu malam ini.”
Hening sebentar. Lalu Renji berkata pelan, nyaris seperti bisikan dari balik demam. “Nara-chan...”
Senara menoleh cepat. “Apa tadi... kau—?”
Tapi Renji sudah menutup mata. Bibirnya masih sedikit terbuka, seperti mengulang nama itu. Kali ini dengan embusan napas terakhir sebelum tertidur.
Senara memandangi wajah itu cukup lama. Tak ada lagi garis kasar atau simbol tentara. Yang tersisa hanya wajah muda, damai... dan sepasang alis yang tampak sama letih dengan dirinya sendiri.
Dan ia tersenyum. Tipis.
“Nara-chan, ya...” gumamnya. “Kau bahkan belum tahu siapa aku...”
Tapi ia tak membantahnya.
Malam itu, Senara duduk diam di samping lelaki yang seharusnya ia benci. Di antara dua dunia yang saling menumpahkan darah, ada sepasang manusia muda yang mulai memahami satu sama lain. Lewat luka, keheningan, dan nama yang diucap dengan pelan.
Nama yang akan tertinggal jauh di dalam hati mereka masing-masing.
Ia sempat tertidur di antara gemerisik hutan dan nafas pelan Renji, lalu pulang menjelang subuh saat langit belum sepenuhnya terang.
---