
“Bodoh!” bentak Souta, nyaris memukul meja di dekatnya. “Kau tahu berapa banyak yang ingin melihat kita jatuh hanya karena kita bersaudara? Ini bukan Tokyo, Renji. Ini Kalimantan. Di sini, tak ada belas kasihan.”
Renji masih diam. Tapi dari caranya berdiri, terlihat jelas bahwa tubuhnya hampir tak kuat lagi menopang beban hari-hari yang ia lalui.
Souta akhirnya menarik napas panjang. “Aku akan laporkan kau selamat. Tapi kau tidak boleh keluar perimeter lagi. Dan mulai besok, kau kembali ke posisi semula.”
“Wakarimashita, Chūsa.” Renji membungkuk dalam, sikap tubuhnya tegas. Ia berbicara bukan sebagai adik, tapi sebagai prajurit yang kembali dari batas antara hidup dan mati.
Souta menatap Renji. Perlahan, nada suaranya berubah. Lebih pelan. Lebih pribadi.
“Apa kau benar-benar sendirian di luar sana, Renji?”
Renji menahan napas. Lalu menjawab lirih, “Aku tidak akan membahayakan siapa pun.”
“Bukan itu pertanyaanku.”
Keduanya saling menatap. Lalu akhirnya, Renji memalingkan wajah. “Bukan saatnya membahas itu.”
Souta terdiam. Lalu mengangguk. “Pergilah ke ruang medis. Setelah itu istirahat. Jangan pikir aku akan menyelamatkanmu dua kali jika kau hilang lagi.”
Renji tersenyum tipis. “Aku tak akan membuatmu repot lagi, Nii-san.”
Saat Renji keluar dari ruangan, Souta tetap berdiri di tempat. Pandangannya menatap pintu yang kini tertutup. Ada banyak yang ingin ia tanyakan. Tapi ia tahu... adiknya telah melewati sesuatu yang tak semua orang bisa mengerti.
***