
“Aku tidak menyelundupkan apa pun,” gumam Senara, nyaris berbisik. Tapi matanya menatap Muzaffar dalam. Seolah ingin berkata, “Aku hanya menyelamatkan satu nyawa dari pihak musuh.”
“Aku tidak menyangka kau bisa sekonyol ini,” lanjut Muzaffar, suaranya menurun tapi tetap menghentak hati. “Dulu kau tak pernah sembunyikan apa pun dariku. Sekarang... aku bahkan tak bisa menebak isi kepalamu.”
Senara menatap kakaknya, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Cahaya sore mulai turun. Angin sore membawa bau tanah dan rumput lembap. Suara bambu bergesekan pelan.
“Aku tidak menyimpan apa pun,” ulangnya.
Muzaffar hanya berdiri di tempat. Menatap adiknya seolah melihat bayangan ibunya sendiri. Sosok perempuan kuat yang dulu bisa membuat seluruh kampung patuh hanya dengan satu isyarat tangan. Tapi berbeda dengan ibunya, Senara menyimpan terlalu banyak di balik diamnya. Termasuk, mungkin, sebuah nama Jepang yang tidak boleh disebutkan.
Muzaffar menunduk. “Aku hanya ingin kau tetap hidup, Nara. Jangan sampai kau pilih cinta yang bisa menyeretmu ke neraka.”
Senara tak menjawab. Tapi hatinya bergemuruh. Karena yang ia pilih bukan cinta. Tapi... rasa yang tak bisa ia hentikan. Sebuah simpati yang perlahan berubah jadi kesetiaan diam-diam. Pada seorang asing... yang kini terasa lebih nyata dari siapa pun di sekelilingnya.
Muzaffar berbalik, melangkah keluar rumah tanpa sepatah kata lagi.
***
Pinggiran Mandor, Jalan Tanah Menuju Desa Ninti
Langit menggantung abu-abu. Awan tebal memeluk lembab udara dan meninggalkan aroma tanah basah yang pekat. Di jalan tanah yang memanjang di antara bukit kecil dan rerimbunan bambu, rombongan warga sipil berjalan pelan sambil memanggul logistik untuk dapur umum desa Ninti.
Di antara mereka, Senara tampak paling muda. Ia memeluk erat keranjang anyaman besar berisi ramuan, botol bambu, dan beberapa ikat daun kering.
Hari ini, ia mengenakan baju kurung sederhana warna gading yang masih bersih, dan kain batik yang sudah mulai lembap di ujungnya. Rambutnya disanggul setengah, beberapa helaian nakal menempel di pelipis karena keringat dan gerimis tipis yang turun sejak pagi.
Wajahnya lelah, tapi matanya tajam. Ia berjalan di belakang, agak terpisah, memilih diam. Saat langkahnya mulai menyusul ke barisan depan—
“BERHENTI!”
Suara bentakan dari balik semak membuat semua warga tersentak.
Empat tentara muda Jepang muncul dari balik belukar, senjata mereka teracung, dan wajah mereka keras.