
Renji tidak menjawab.
“Tapi katanya... dia adik dari Muzaffar. Warga bilang dia tokoh bawah tanah. Katanya mengatur gerakan anti-kemiliteran. Jadi kita harus hati-hati.”
Renji berbalik. Sorot matanya tajam, penuh amarah.
“Satu kata lagi tentang itu... kau bukan hanya kehilangan tugas. Kau akan kehilangan lidahmu.”
Tentara itu membeku. Lalu mundur cepat, menunduk dalam.
Renji masuk kembali ke kendaraan. Tapi dari balik kaca kecil, ia tetap menatap jalan becek tempat Senara barusan berdiri.
Dan di dadanya, dentuman tak bisa diredam.
***
Roda kendaraan militer bergemuruh di jalan tanah. Renji duduk di kursi belakang, punggung tegak, mata tajam mengarah ke depan. Di sisi lain kaca jendela, pepohonan berderet cepat berlalu. Sunyi. Hanya suara mesin dan langkah sepatu tentara dari pos-pos kecil yang mereka lewati.
“Shōi, kita hampir sampai ke perimeter barat markas,” kata pengemudi di depan.
“Berhenti.” Perintah itu keluar cepat dan dingin.
Prajurit yang mengemudi menginjak rem.
Renji mencondongkan tubuh ke depan, matanya menyipit. Di kejauhan, rombongan warga sipil terlihat berjalan membawa karung dan keranjang. Di antara mereka, seseorang membuat napasnya tercekat sesaat.
"Itu rombongan dari Ninti," ujar prajurit pengemudi.
"Logistik untuk dapur umum," tambah prajurit di sebelahnya. "Mereka dapat izin lewat dua hari lalu."
Renji membuka pintu. Turun.
Langkahnya mantap, berlapis karisma dan ketegasan. Ia berjalan ke arah rombongan.
"Hentikan mereka. Periksa bawaannya."
Prajurit langsung bergerak, menghadang rombongan. Warga mendadak tegang. Raut ketakutan menyebar, beberapa langsung menurunkan pikulan. Senara, yang ada di belakang, berhenti pelan. Ia belum melihat Renji, tapi detik berikutnya suara itu terdengar.
"Barang-barang ini penting untuk penduduk, bukan?"
Senara mendongak.
Renji berdiri hanya beberapa langkah darinya. Sorot mata pria itu tajam, tapi nadanya... terkendali.
"Kalau begitu, aku izinkan dibawa dalam kendaraan militer. Kami sedang menuju arah yang sama."
Warga saling berpandangan. Seorang lelaki paruh baya ragu-ragu melangkah maju. "Tuan... kami tidak bermaksud melanggar aturan... kami bisa jalan sendiri, tidak usah merepotkan—"
"Aku tidak menawarkan bantuan. Ini bagian dari patroli logistik."