Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #10

Antara Dua Saudara



Tanaka menunduk, menghindari tatapan Renji. “Mereka bilang... namanya Senara, Shōi. Adik dari Muzaffar.”

Dunia Renji runtuh. Senara. Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Ia tahu apa yang akan dilakukan Chūsa Takeyama. Kakaknya itu tidak punya belas kasihan, apalagi terhadap wanita lokal yang dianggap ‘budak’.

“Di mana dia sekarang?” tanya Renji, suaranya kini penuh perintah, menahan amarah yang membakar.

“Dibawa langsung ke barak Chūsa Takeyama, Shōi,” jawab Tanaka, tatapannya penuh simpati dan ketakutan. Ia tahu reputasi Chūsa Takeyama.

Renji tidak menunggu lagi. Ia bangkit, seragamnya berdesir. Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah cepat keluar barak, meninggalkan Tanaka yang masih berdiri kaku. Setiap langkahnya adalah sumpah. Sumpah untuk menyelamatkan gadis itu, apa pun risikonya. Ia tidak akan membiarkan Senara menjadi korban dari kekejaman kakaknya. Tidak akan.

Napas malam terasa membakar paru-parunya saat Renji berlari menembus kegelapan barak. Setiap detik terasa seperti berjam-jam, dan setiap langkahnya diiringi bayangan wajah Senara yang ketakutan. Ia tahu di mana kakaknya biasa ‘menghibur diri’—sebuah barak terpencil yang sering diubah menjadi tempat pesta pora dan pelecehan.

Renji mempercepat langkah, jantungnya bergemuruh. Ia harus sampai di sana sebelum terlambat.

Sementara itu, di dalam barak Chūsa Takeyama...

“Buka mulutmu, Onna no ko!” Suara bentakan itu memecah keheningan malam yang pekat.

Senara merasakan tangan kasar mencengkeram rahangnya, memaksa kepalanya mendongak. Aroma arak dan tembakau dari napas tentara itu membuat perutnya mual. Ia baru saja ditarik paksa dari pondok warga yang sakit, tanpa penjelasan.

Tuduhan “membantu pemberontak” hanya topeng. Tatapan lapar mereka mengandung maksud yang lebih menjijikkan.

Ia diseret menembus kegelapan, melewati barak-barak militer yang sunyi, hingga berhenti di depan sebuah pintu kayu. Samar-samar, Senara mendengar percakapan di dalam. Terdengar tawa serak, dan kalimat-kalimat berbahasa Jepang yang penuh nafsu. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ini bukan soal pemberontak. Ini soal dirinya.

Pintu terbuka. Ia didorong masuk dengan kasar.

Di dalam, sebuah lampu minyak redup menerangi ruangan sempit. Souta Takeyama baru saja menurunkan yukata-nya, membiarkan kain tipis itu terlepas hingga melorot ke lantai. Dengan gerakan malas, ia meraih seragam militer yang tergantung di sandaran kursi dan memakainya pelan-pelan, seolah sengaja membuat Senara menyaksikan setiap detiknya.

Wajah itu keras, angkuh. Ia memang dikenal bengis dan tanpa ampun.

Lihat selengkapnya