Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #11

Tempat Teraman Di Tengah Bahaya



Begitu sampai di luar, angin malam menghantam wajah mereka. Suara jangkrik menyambut dari segala arah. Renji membawa Senara menyusuri lorong kayu di belakang barak. Setiap langkah mereka seperti mencuri waktu dari maut.

Sampai di kamarnya, Renji menurunkan Senara pelan.

Tubuh perempuan itu mulai gemetar hebat. Tangannya menutup wajah, dan suara tangis akhirnya pecah dari sela-sela jemari. Bukan tangis kencang, tapi rapuh. Seperti tubuh yang akhirnya menyerah.

Renji berlutut di depannya. Tak berkata apa-apa.

Ia hanya memeluk Senara pelan. Menyandarkan kepala gadis itu ke dadanya, membungkus tubuh Senara erat-erat. Mendekapnya seperti mencoba menahan dunia agar tidak runtuh. Sekaligus menahan kepingan jiwanya sendiri yang baru saja hancur di hadapan kekejaman kakaknya.

Tangan Renji menyentuh rambut Senara yang kusut. Hanya sedikit. Tapi cukup untuk menyatakan permintaan maaf karena telah gagal melindungi gadis itu.

Malam itu, di tengah kegelapan barak militer yang sunyi, Renji seolah ingin menyalurkan seluruh kekuatannya untuk menenangkan trauma yang baru saja menimpa mereka berdua. Malam menjadi saksi. Di mana untuk pertama kalinya, Renji benar-benar merasa kotor memakai seragam yang ia kenakan.

Perlahan, isakan Senara mereda. Getaran di tubuhnya tidak lagi sekuat tadi. Ia tidak membalas pelukan Renji, namun juga tidak menolak. Hanya bersandar, seolah mencari jangkar di tengah badai yang melanda. Pelukan Renji adalah satu-satunya tempat yang tidak terasa memuakkan malam ini. Keheningan itu penuh dengan trauma, pengakuan tanpa suara, dan janji tak terucap.

Senara tertidur dalam pelukan Renji, bukan karena rasa aman, melainkan karena kelelahan luar biasa yang menguras seluruh tenaganya. Renji tetap terjaga, mendekapnya, mendengarkan setiap napas Senara yang teratur, dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh gadis ini lagi.

***

Fajar menyingsing, membawa cahaya tipis yang menyusup lewat celah dinding barak. Renji terbangun lebih dulu. Ia melonggarkan pelukannya, memastikan Senara masih terlelap. Wajah gadis itu masih terlihat lelah, namun napasnya sudah tenang. Renji bangkit perlahan, melangkah tanpa suara ke sudut ruangan, mengambil handuk basah dan membersihkan wajahnya. Tugas memanggil. Ia harus pergi.

Renji menatap Senara yang masih tidur. Ia tidak bisa meninggalkannya sendirian di sini terlalu lama. Risiko bahaya terlalu besar. Ia harus menemukan cara untuk membawanya keluar dari barak ini sesegera mungkin. Pemuda itu mengambil beberapa potong roti kering dan sebotol air dari ransel, meletakkannya di samping Senara.

Lihat selengkapnya