
Renji menggeleng. “Aku belum tahu. Tapi aku akan menemukan jalan.”
Senara menunduk. Ia tahu ini akan terjadi.
Ancaman Souta masih menggantung di udara seperti pedang. Setiap kali Renji berpapasan dengan kakaknya di barak, Souta akan melontarkan komentar sinis atau tatapan penuh curiga. Tekanan itu semakin kuat. Renji tahu ia tidak punya banyak waktu.
Malam itu, suara tembakan terdengar dari kejauhan, diikuti ledakan kecil. Sirine darurat meraung. Barisan prajurit berlarian di koridor. Renji bergegas ke pintu, mengintip.
"Pemberontak menyerang markas kecil di perbatasan hutan!" seru seorang prajurit. Jantung Renji mencelos. Ini adalah kekacauan. Peluang. Tapi juga bahaya yang mematikan bagi Senara di dalam kamarnya.
Renji tahu ia tidak punya pilihan. Ia harus bertindak sekarang. Ia kembali ke Senara, wajahnya tegang. "Aku harus menemui Souta. Aku punya rencana. Dengar baik-baik.”
Renji sempat berhenti sebelum melanjutkan kalimat. “Aku akan bilang padanya kalau aku sudah ‘memakai’mu’. Dan kau sudah tak berguna lagi baginya. Itu satu-satunya cara untuk membuat dia melepaskanmu."
Ada rasa jijik di wajah Renji saat mengucapkan kata-kata itu. "Dan aku akan menekannya dengan fakta bahwa kau adalah adik Muzaffar. Bahwa jika ia melakukan hal lebih buruk padamu, itu akan memicu pemberontakan yang lebih besar dan mengancam posisi Souta sendiri."
Senara menatap Renji, matanya berkaca-kaca. "Kau... kau rela melakukan itu?"
"Aku tidak punya pilihan." Renji meraih tangan Senara, menggenggamnya erat. "Ini demi keselamatanmu. Dan aku akan membawamu kembali ke kampungmu. Tidak sekarang, tapi sesegera mungkin setelah ini aman."
***
Di ruang kerja Souta, ketegangan terasa menusuk. Renji berdiri tegap di hadapan kakaknya. Souta duduk di balik meja, asap rokok mengepul dari sela-sela jarinya, matanya menatap Renji tajam.
"Jadi, bagaimana, Renji?" suara Souta menusuk. "Gadis desa itu... sudah kau 'nikmati'?" Ada nada mengejek.
Renji mengangguk, ekspresinya hambar. "Sudah, Nii-san. Dia... liar. Tapi sekarang sudah jinak." Ia menjaga tatapannya tetap kosong, seperti prajurit yang melaporkan tugas yang membosankan.
Souta tertawa pendek, sinis. “Benar-benar seleramu, ya. Kau memang suka yang liar.” Ia menyesap sake. “Lalu, kau apakan dia sekarang? Kau tahu aku tidak suka sisa.”