
“Aku... aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja,” kata Renji, tatapannya lembut.
Mereka hanya punya waktu sebentar. Pertemuan pertama itu canggung, namun penuh makna. Mereka bicara sejenak, menanyakan kabar, bertukar pandang penuh kekhawatiran dan kerinduan. Sejak saat itu, pertemuan diam-diam menjadi rahasia mereka. Di tengah hutan, di bawah naungan dedaunan, mereka bertemu. Renji akan menyelinap dari patroli, Senara akan mencari ramuan lebih jauh.
Dalam pertemuan-pertemuan itu, mereka mulai bicara tentang banyak hal. Tentang kampung, tentang perang, tentang impian yang terasa jauh. Renji berbagi tentang beban tugasnya, tentang kekejian yang ia saksikan, tentang konflik batinnya. Senara bercerita tentang hidupnya, tentang harapan untuk desanya, tentang trauma yang perlahan sembuh berkat kehadiran Renji.
Renji melihat kekuatan dan kelembutan dalam diri Senara. Ia mencintai keberanian gadis itu, empati yang tak terbatas, dan semangatnya yang tak pernah padam. Senara, di sisi lain, melihat hati yang baik di balik seragam militer Renji, keberaniannya untuk menentang kekejaman, dan kesetiaannya yang mendalam.
Hingga suatu senja yang sepi di tepi sungai, setelah mereka berdua terdiam lama, Renji memberanikan diri.
“Nara-chan,” suaranya serak. “Aku... aku mencintaimu.”
Senara terkesiap. Wajahnya merona. Ia menatap mata Renji, mencari kebohongan, tapi hanya menemukan ketulusan. Air matanya menggenang.
“Aku... aku juga, Renji,” bisiknya, tak percaya pada keberaniannya sendiri. “Aku... aku juga mencintaimu.”
Mereka berdua terdiam, merasakan beratnya pengakuan itu. Cinta di tengah perang, antara tentara Jepang dan gadis pribumi, adalah hal yang terlarang dan penuh bahaya. Namun, di bawah langit senja itu, mereka tak peduli.
---
Zalya menutup buku catatannya dengan mata yang berbinar. “Obaa-chan...” bisiknya, “Jadi... kalian berdua akhirnya sama-sama tahu perasaan masing-masing ya? Itu pertama kalinya kalian saling mengaku? Di pinggir sungai itu?”
Senara mengangguk pelan. Matanya berkaca-kaca, tapi senyumnya lemah. “Iya. Dan... juga pertama kalinya aku merasa benar-benar hidup bahagia di zaman perang.”
Zalya mencondongkan tubuh, tatapan penasarannya tak lepas dari wajah keriput sang eyang. “Terus? Apa yang terjadi setelah itu? Kan bahaya sekali, Obaa-chan. Cinta di tengah perang, tentara Jepang dan gadis kampung... itu tidak boleh, kan?”
Senara menghela napas panjang, sebuah senyum sendu tersungging di bibirnya. “Tepat sekali, Sayang. Cinta itu memang tidak boleh. Terlarang. Setiap detik setelah pengakuan itu adalah risiko. Lebih berbahaya dari apa pun yang pernah kami alami sebelumnya.”
Zalya menggigit bibir. Ia merasa seperti menyaksikan kisah dari novel, tapi tahu betul—ini nyata. Ini adalah darah dan daging yang mengalir sampai ke dirinya.”
Ia memeluk buku catatannya. “Obaa-chan... aku tahu ini pasti menyakitkan. Tapi aku juga tahu, ini bukan akhir cerita kalian, kan?”