
Beberapa hari setelah pertemuan tegang di tepi sungai, beban rahasia terasa semakin berat bagi Senara. Setiap langkah kaki di belakangnya, setiap bayangan yang melintas, terasa seperti mata-mata. Ia mencoba fokus membantu pekerjaan di lumbung, tapi pikirannya selalu melayang pada Renji, pada ancaman Souta, dan pada perasaan aneh yang ia rasakan malam itu—seolah ada yang mengawasi.
Sore itu, saat ia sedang membersihkan beberapa karung gabah di sudut lumbung yang sepi, sebuah bayangan jatuh di sampingnya. Senara menoleh. Salim berdiri di ambang pintu lumbung, satu tangan bertumpu di tiang kayu. Tatapan matanya mengawasi Senara dengan intensitas yang tidak wajar. Senyum kecil terukir di bibirnya, bukan senyum ramah, melainkan seringai penuh arti.
“Rajin sekali, Nara,” sapa Salim, suaranya terdengar terlalu manis. “Pantas saja Muzaffar bangga memiliki adik seperti dirimu. Selalu berbakti pada kampung, selalu... menolong sesama.”
Senara mengernyitkan dahi. Nada suara Salim membuat bulu kuduknya merinding. Ia merasakan firasat buruk. “Tentu saja. Sudah kewajiban kita,” jawabnya singkat, kembali fokus pada gabah di tangannya, mencoba mengabaikan tatapan Salim.
Salim terkekeh pelan, melangkah mendekat, seolah ingin melihat gabah yang Senara pegang.
“Aku lihat,” ia memulai lagi, suaranya direndahkan, “akhir-akhir ini kau sering terlihat sibuk sendirian. Jalan-jalan ke tempat yang tak biasa. Gadis sepertimu… terlalu berani.”
Jantung Senara berdebar keras. Tangannya seketika membeku. Ia tahu Salim sedang mengacu pada apa. Matanya sedikit melebar, namun ia berusaha keras menjaga ekspresinya tetap tenang. “Aku... aku tidak mengerti apa maksudmu, Lim.”
Salim mencondongkan tubuh, tatapannya kini mengunci mata Senara, penuh makna yang mengancam. “Ah, begitu. Mungkin kau lupa. Tapi aku ingat. Bagaimana kau menyelinap dengan keranjang berisi perban, lalu menghilang di balik pepohonan ke arah gubuk tua itu. Dan tak lama setelah itu, kudengar cerita Letnan Takeyama yang dulu hilang, tiba-tiba muncul kembali di markas dengan luka bersih, seperti baru dirawat.”
Napas Senara tertahan di tenggorokan. Semua darah seolah mengalir dari wajahnya. Ia tak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya. Salim tahu. Dia tahu semuanya.
“Rahasia itu,” lanjut Salim, kini suaranya hampir berbisik, namun terdengar menusuk di telinga Senara, “bisa jadi pisau bermata dua, Nara. Apalagi jika rahasia itu melibatkan tentara Jepang dan seorang gadis pribumi seperti dirimu. Pihak Jepang tidak akan suka. Dan warga kampung... mereka juga akan sangat ‘kecewa’ jika tahu kau menampung musuh.”
Senara mulai merasa mual. “Kalau kau ingin sesuatu, katakan saja.”
Salim menunduk, lalu menghela napas panjang, seolah menyesal. “Aku Cuma ingin membantu, Nara. Kau gadis baik. Terlalu baik untuk terlibat dengan orang yang bisa membahayakan nyawamu, atau... nama keluargamu.”
Matanya menatap tajam. “Kau tahu, Muzaffar sedang diawasi. Dan adiknya... seharusnya tidak terlalu sering ke hutan.”
Senara menggertakkan gigi. “Kau mengancamku?”
“Tidak.” Salim mengangkat tangan. “Aku menawarkan... perlindungan. Kau butuh seseorang yang mengerti. Yang tidak akan menjualmu. Aku bisa jadi orang itu, kalau kau... ya, lebih ramah sedikit. Lebih terbuka. Kita ini satu kampung, Nara.”