
“Tidak banyak.” Salim mengangkat tangan. “Saya hanya berpikir, betapa sulitnya jadi perwira Jepang di tanah asing seperti ini. Terlalu banyak mata. Terlalu banyak mulut. Dan kadang... terlalu banyak perasaan.”
Senyumnya menipis. “Perasaan itu... bisa berbahaya. Apalagi jika melibatkan... pihak lokal.”
Renji menatapnya, lama. “Kau bicara terlalu banyak untuk seseorang yang mengaku hanya penjaga lumbung.”
Salim terkekeh. “Dan Anda terlalu pendiam untuk seseorang yang menyimpan begitu banyak rahasia.”
Suasana menegang dalam cara yang samar. Renji melirik langit, lalu kembali menatap Salim, matanya kini tajam.
“Apa kau sedang mengancamku?”
“Tidak, Shōi,” ujar Salim cepat, melangkah mundur setengah langkah. “Saya hanya... peduli. Apalagi soal keamanan Anda. Anda tahu sendiri, markas ini penuh bisik-bisik. Dan sayangnya, saya bukan satu-satunya orang yang suka memperhatikan.”
Renji membalas dengan nada datar, “Kalau begitu, berhentilah memperhatikan. Fokus pada beras di pundakmu.”
Salim menahan senyum, tapi matanya menyipit. “Beras itu bisa menyimpan banyak hal, Shōi. Bau, jejak, bahkan... rahasia.”
Renji mendekat perlahan, hanya satu langkah. Suaranya turun satu oktaf.
“Aku sudah lama hidup di tengah perang, Salim. Orang yang mencoba menjual rahasia... biasanya tidak pernah cukup hidup untuk menikmati hasilnya.”
Nada itu dingin. Halus. Tapi tajam seperti baja.
Untuk pertama kalinya, Salim tampak kehilangan kata. Tapi ia cepat menutupinya dengan tawa kecil.
“Saya paham, Shōi. Saya hanya... menyampaikan kekhawatiran. Seperti sahabat. Karena kalau ada yang tahu soal... kedekatan Anda dengan seorang gadis desa, misalnya, itu bisa... disalahpahami. Apalagi jika gadis itu dikenal keras kepala.”