
“Aku tidak tahu itu dia. Tapi… itu tidak menjelaskan tatapan tadi, Nara. Tatapanmu… dan tatapannya. Itu bukan tatapan orang yang sekadar ditolong atau menolong. Itu… lebih dari itu.”
Senara mengangkat wajahnya, menatap Muzaffar dengan mata berkaca-kaca, memohon belas kasihan. “Apa maksudmu, Bang? Aku tidak mengerti. Aku hanya… takut. Aku tahu namaku ada di daftar itu. Aku takut jika… jika aku dicurigai karena kejadian waktu itu. Apa Abang pikir aku seorang pemberontak? Apa Abang… mencurigaiku?”
Ia sengaja memutarbalikkan pertanyaan, menyerang balik dengan rasa bersalah. Itu adalah taktik yang sering ia gunakan pada Muzaffar sejak kecil, dan seringkali berhasil.
Melihat mata adiknya yang berkaca-kaca dan suara yang sarat ketakutan, amarah Muzaffar sedikit melunak. Ia selalu lemah jika Senara menunjukkan kerapuhannya. Ia menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang lelah.
“Bukan, Nara. Aku tidak berpikir kau pemberontak,” Muzaffar mengakui, nadanya kini lebih lembut, namun kecurigaannya belum sepenuhnya hilang. “Tapi… kau terlalu berharga untuk menjadi sumber masalah. Apalagi setelah Tuan Takeyama itu menyinggung namamu dan… mengawasimu.”
Ia menatap Senara sekali lagi, mencoba membaca sesuatu di balik mata adiknya. Namun Senara berhasil mengunci ekspresinya, hanya menampilkan ketakutan murni.
Muzaffar tahu Senara keras kepala dan cenderung menyembunyikan sesuatu jika ia takut akan konsekuensinya. Firasatnya mengatakan ada yang lain. Tapi ia tidak bisa memaksanya. Tidak ada bukti. Dan ancaman Jepang yang menggantung di desa terasa lebih mendesak saat ini. Ia juga harus fokus pada rencana-rencana rahasianya sendiri.
“Baiklah,” kata Muzaffar akhirnya, menghela napas. “Aku percaya padamu. Tapi kau harus hati-hati, Nara. Jangan sampai kau terlibat masalah dengan mereka. Terutama dengan Shōi Takeyama itu.” Ada nada peringatan yang jelas dalam suaranya. “Aku tidak mau kau kenapa-kenapa.”
Senara mengangguk cepat, lega namun hatinya masih berdesir. “Pasti, Bang. Aku akan hati-hati.”
Muzaffar berdiri, matanya menyapu sekeliling, lalu kembali pada adiknya. “Aku harus bertemu beberapa orang. Ada hal penting yang perlu kita bicarakan setelah kunjungan tadi.” Ada sebuah kerutan di dahi Muzaffar yang tidak bisa Senara baca, campuran antara kekhawatiran untuk desa dan kegelisahan pribadi yang samar.
“Hati-hati, Bang,” Senara balas mengingatkan.