Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #21

Luka Yang Hangat Di Ujung Bibir



Langit sudah menghitam sempurna. Kabut tipis mengendap di antara pepohonan, menyelimuti tanah becek bekas hujan sore tadi, membuat udara terasa dingin menusuk tulang.

Renji berjalan pelan, tangan kirinya menggenggam lampu minyak kecil yang redup, sedangkan tangan kanan bertumpu pada gagang pedang pendek yang tergantung di pinggangnya. Matanya awas, memindai setiap bayangan, setiap bisikan angin.

Ia sedang berpatroli malam, atau begitulah laporan yang ia sampaikan kepada Souta. Tapi kenyataannya... ia sedang menunggu. Menunggu seseorang. Menunggu Senara. Jantungnya berdebar, bukan karena takut akan bahaya, melainkan karena antisipasi yang membakar.

Langkah kakinya terhenti di persimpangan jalan setapak menuju lumbung. Dari kejauhan, sosok ramping berjalan cepat dari arah desa. Gerakannya gesit, seolah ingin segera menghilang ditelan kegelapan.

Senara.

Renji menahan napas. Lampu minyaknya ia padamkan, hanya menyisakan kegelapan yang menaungi. Saat gadis itu mendekat, keduanya saling menatap.

Dan saling tahu.

Tanpa berkata apa-apa, Renji mengangkat tangan sedikit, memberi isyarat agar Senara diam dan bersembunyi. Ada suara—dua prajurit lain lewat di jalan utama, tawa mereka terdengar memecah sunyi.

Senara langsung refleks menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik selendang tipis. Tubuhnya menegang. Ia tahu betapa berbahayanya jika mereka terlihat bersama lagi, apalagi di tempat terlarang seperti ini.

Renji bergerak cepat. Ia menggenggam pergelangan tangan Senara, jarinya menyentuh kulitnya yang dingin. Lalu, ia menarik gadis itu dengan lembut namun tegas ke balik bangunan—menuju lumbung yang biasa dipakai menyimpan beras. Pintu kayu yang tua sedikit berderit saat ia membukanya, lalu menutupnya kembali dengan hati-hati.

Begitu pintu kayu itu tertutup rapat, mereka tenggelam dalam gelap yang pekat. Hening. Lembap. Sunyi. Hanya ada suara napas mereka yang memburu, saling beradu. Bau karung goni, kayu lapuk, dan sisa debu yang menggantung di udara mengisi paru-paru mereka.

Dan jarak mereka—hanya sejengkal. Senara bisa merasakan kehangatan tubuh Renji, bau kulitnya yang maskulin bercampur aroma hutan dan sedikit bubuk mesiu.

Senara menunduk, wajahnya nyaris menempel ke dada Renji. Napasnya tak beraturan, mencampur dengan napas berat Renji. Tangannya masih tergenggam oleh Renji, tapi tidak ada yang melepas. Jemari Renji mengusap lembut punggung tangannya, seolah meyakinkan.

Beberapa detik berlalu. Suara langkah di luar menghilang. Senyap. Tapi tidak ada yang bicara. Tidak juga menjauh. Keheningan itu justru terasa semakin memekakkan, dipenuhi desiran hasrat yang tak terucapkan.

Lihat selengkapnya