
Malam itu, desa Senara diselimuti euforia. Aroma pandan dan kelapa parut dari aneka kue tradisional berbaur dengan harum kemenyan yang dibakar untuk upacara adat. Pernikahan Muzaffar dan Sariya bukan hanya sekadar penyatuan dua insan, tapi sebuah perayaan kehidupan, kebersamaan, dan harapan di tengah bayang-bayang pendudukan.
Di halaman yang luas, sebuah panggung sederhana didirikan, dihiasi kain tenun berwarna-warni yang meriah. Gong dan gendang mulai ditabuh, mengundang warga untuk berkumpul. Muzaffar, dalam balutan busana adat Melayu-Dayak yang gagah tampak berseri-seri. Ia tak henti-hentinya menerima ucapan selamat, senyumnya tak lekang dari wajah. Di sampingnya, Sariya tampil anggun dalam balutan baju kurung putih bersih dengan sulaman benang emas, kecantikannya memancar murni. Mereka adalah potret kebahagiaan sejati.
Keramaian ini, yang seharusnya membuat pengawasan lebih ketat, justru menciptakan celah. Muzaffar terlalu sibuk dengan perannya sebagai pengantin pria dan tuan rumah dadakan. Perhatiannya tercurah pada Sariya, pada kerabat yang datang, pada tamu-tamu yang harus disambut. Ini adalah momen kebahagiaan terbesarnya, dan ia membiarkan dirinya tenggelam di dalamnya, melonggarkan genggaman kekhawatiran yang biasanya selalu melilitnya.
Tak lama kemudian, sebuah rombongan tiba. Souta, ditemani Renji dan beberapa prajurit lainnya, melangkah masuk. Mereka mengenakan seragam militer yang bersih, namun dengan ekspresi yang lebih santai dari biasanya. Souta tersenyum ramah, mengangguk pada setiap warga yang berpapasan. Ini adalah bagian dari strategi “persahabatan” mereka, untuk menunjukkan bahwa Jepang adalah pelindung, bukan penjajah murni.
Renji, meskipun hadir dalam balutan seragam militer, merasakan jantungnya berdebar bukan karena tugas. Matanya langsung mencari Senara di antara kerumunan. Gadis itu malam ini mengenakan baju kurung khas Melayu berwarna biru laut yang membalut anggun tubuh rampingnya.
Rambut hitam panjangnya digelung tinggi, memperlihatkan leher jenjangnya yang indah, dan di telinganya tergantung anting manik-manik khas Dayak yang berayun lembut setiap kali ia bergerak. Kulit kuning langsat cerah Senara tampak bersinar di bawah cahaya obor dan lampu minyak, membuatnya terlihat begitu memesona dan berbeda dari biasanya.
Renji merasakan napasnya tertahan. Senara memang selalu cantik, tapi malam ini ia sungguh... lain. Ada aura keanggunan tradisional yang memancar kuat darinya. Begitu mata mereka bertemu dari jarak yang cukup jauh, sebuah percikan tak terlihat melintas, memanaskan udara di antara mereka. Senara memberinya senyum tipis, nyaris tak tampak, sebuah janji tanpa kata di tengah keramaian. Sebuah senyum yang hanya mereka berdua pahami.