
Mereka tidak bisa berlama-lama. Renji bangkit, membantu Senara merapikan pakaiannya. Wajah Senara masih memerah, namun ada ketenangan yang terpancar dari matanya, seolah jiwanya baru saja menemukan kedamaian. Renji sendiri tampak lebih tenang, meskipun senyum tipis masih terukir di bibirnya, senyum seorang pria yang baru saja menemukan harta karun terbesarnya.
Mereka menyelinap kembali ke pesta ketika suasana mulai mereda, namun masih cukup ramai. Musik masih mengalun, beberapa orang masih menari, dan sebagian besar tamu sudah mulai menikmati hidangan malam. Mereka berdua masuk dari arah berbeda, berusaha tidak menarik perhatian, berbaur seolah tak terjadi apa-apa.
Renji kembali ke posisinya di dekat Souta, yang sedang berbincang dengan Salim. Berusaha keras menyembunyikan senyum, meski hatinya masih meluap-luap. Ia tidak bisa berhenti membayangkan hal terindah yang baru saja ia alami. Aroma Senara seolah masih melekat padanya, dan sensasi sentuhan gadis itu masih terasa di setiap pori-pori kulitnya.
Souta melirik Renji. Ia melihat mata adiknya yang berbinar aneh, senyum yang tak biasa, dan aura kebahagiaan yang begitu jelas. “Dari mana saja kau, Renji?” tanyanya, nada suaranya sedikit tajam, curiga.
Renji tersentak. “Maaf, Chūsa. Aku hanya memastikan perimeter aman. Beberapa warga juga baru saja pulang.” Ia berusaha memasang ekspresi datar, namun bibirnya masih saja melengkung tipis.
Souta menatapnya lekat. Ia mengenal adiknya. Senyum seperti itu hanya muncul karena satu alasan. Dan ia yakin, alasan itu adalah Senara. Sebuah firasat buruk melintas di benak, namun ia memilih untuk tidak mengatakannya. Ia hanya mendengus pelan, ekspresinya kembali kaku. “Pastikan tugasmu selesai tanpa ada masalah.”
Renji mengangguk, namun dalam hati ia tahu, masalah baru saja dimulai. Ia melirik sekilas ke arah Senara yang kini sudah kembali bergabung dengan para gadis desa lainnya, sesekali mencuri pandang padanya. Dan di saat itu juga, Renji yakin, ia tidak akan pernah menyesali malam ini.
***
Pagi itu di markas Jepang, suasana terasa lebih kaku dari biasanya, terutama di sekitar Souta Takeyama. Malam pernikahan Muzaffar telah berlalu, namun sisa-sisa keganjilan masih membekas di benak Souta.
Ia mengamati adiknya, Renji, yang kini tengah membaca koran pagi dengan senyum tipis yang tak kunjung hilang dari bibirnya. Senyum itu, di mata Souta, adalah anomali yang mengganggu.