Senara menghela napas, tangannya menggenggam tangan Renji erat. Ia tahu pertanyaan itu akan datang. "Aku tidak tahu, Renji," bisiknya, suaranya juga sarat kekhawatiran. "Bang Zaffar... dia pasti marah sekali. Dia tidak akan mengerti."
"Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu, Nara-chan," kata Renji, menatap mata Senara dalam-dalam. "Aku... aku tidak ingin kita dipisahkan."
Air mata Senara menetes. "Aku juga, Renji. Aku takut..." Ia menyandarkan kepalanya di bahu Renji, membiarkan tubuhnya sedikit rileks. Aroma tubuh Renji, meskipun bercampur bau tanah dan darah, terasa begitu menenangkan. "Kita sudah sejauh ini... terlalu banyak yang sudah terjadi..."
Renji memeluk Senara erat dengan satu tangannya yang tidak terluka parah, membelai rambutnya lembut. "Kita akan menemukan jalan, Nara-chan. Aku berjanji. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita. Aku akan melindungimu. Bahkan jika aku harus melawan seluruh dunia." Suaranya mantap, penuh tekad, meskipun ada keraguan yang samar di matanya. Ia tahu betapa sulitnya janji itu.
"Tapi... bagaimana dengan Bang Zaffar?" Senara mendongak, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Dia abangku satu-satunya. Dia pasti sangat membenciku sekarang. Dia pasti berpikir aku mengkhianatinya."
Renji mengusap air mata Senara dengan ibu jarinya. "Dia hanya khawatir, Nara-chan. Dia mencintaimu. Dia akan mengerti suatu hari nanti." Tapi Renji tahu, ia sendiri tidak yakin akan hal itu. Konflik ini sudah terlalu jauh.
Mereka berdua duduk di tepi sungai yang jernih itu, dalam keheningan yang penuh kekhawatiran. Suara gemericik air seolah menjadi pengantar bagi bisikan hati mereka yang berpacu. Mereka saling memeluk, mencari kekuatan satu sama lain, menyerap kehangatan dari sentuhan tubuh mereka.
Luka-luka Renji terasa perih, dan kekhawatiran akan masa depan terasa begitu berat. Tapi di tengah semua itu, ada janji tak terucapkan yang mereka pegang erat. Mereka akan bersama, apa pun yang terjadi.
Senara mendongak lagi. "Kita harus kembali, Renji. Tidak aman jika kita terus di sini. Mereka pasti akan mencarimu. Dan aku... aku harus kembali ke Bang Zaffar." Suaranya bergetar. Ia tahu ia harus menghadapi kakaknya.
Renji mengangguk berat. Ia tahu ini hanya jeda sementara. Badai yang sesungguhnya belum berakhir. "Baiklah, Nara-chan," katanya, suaranya dipenuhi keengganan. "Tapi aku akan mengantarmu sampai aman."
***
Renji menemani Senara kembali ke desa dalam keheningan yang tegang. Mereka berjalan beriringan di bawah sinar bulan yang mulai meredup, suara jangkrik menjadi satu-satunya pengiring langkah mereka. Renji terus melirik Senara, memastikan gadis itu aman, meskipun hatinya dipenuhi kekhawatiran yang sama dengan Senara. Di kejauhan, lampu-lampu desa mulai terlihat, dan ketakutan menyergap Senara.