Renji tersentak, sudut bibirnya pecah dan mengeluarkan darah, namun ia tidak membalas. Pukulan demi pukulan mendarat di wajah dan tubuh Renji. Setiap pukulan membawa semua kekecewaan, kemarahan, dan rasa malu Souta. Seakan setiap hantaman bukan hanya untuk Renji, tapi juga untuk dirinya sendiri yang gagal menjaga garis keluarganya
“Kau memalukan!” Souta berteriak, napasnya terengah-engah. “Kau telah mencoreng nama Takeyama! Kau tidak pantas memakai seragam ini!”
Renji ambruk ke lantai, babak belur, namun ia tetap diam. Tatapannya kosong, menerima setiap pukulan sebagai penebusan.
Souta menatapnya dengan jijik yang mendalam. “Mulai sekarang, kau dicopot dari komando unitmu. Kau tidak lagi memimpin, dan kau tidak akan beroperasi di sini lagi. Aku akan mengirimmu ke Sanggau. Ada beberapa sel pemberontak kecil di sana yang perlu dibersihkan. Itu tugas kotor yang tidak diinginkan siapa pun. Kau akan berada di garis depan, Shōi Takeyama, di mana kemungkinan kau akan tewas sangat besar.”
Souta membungkuk, wajahnya mendekat ke Renji yang terkapar. “Dan percayalah, Renji... daripada kau mati di tanganku sebagai pengkhianat, lebih baik kau tewas di tangan musuh sebagai prajurit yang menjadi pahlawan.”
Renji hanya bisa menelan ludah, darah mengalir dari bibirnya. Hukuman ini lebih buruk dari yang ia bayangkan. Ia akan dikirim ke tempat di mana kematian adalah hal yang paling mungkin, diasingkan dari Senara, namun tetap di bawah bayang-bayang militer Jepang.
Namun, alih-alih pasrah, Renji mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Dengan susah payah, ia mencoba bangkit, lalu dengan gemetar, ia berlutut di hadapan Souta. Kepalanya tertunduk, tatapan matanya yang babak belur kini memohon, penuh penyesalan.
“Nii-san...” suara Renji serak, penuh kesakitan, namun mengandung ketulusan. “Aku tahu aku telah mengecewakanmu. Aku pantas menerima semua ini... bahkan lebih dari ini.”
Ia menarik napas dalam, terasa nyeri di dadanya. “Aku mohon... aku mohon, Nii-san... biarkan Nara-chan aman. Dia tidak tahu apa-apa. Kumohon, jangan sentuh dia.”
Souta menatap Renji yang kini berlutut di depannya, sebuah pemandangan yang langka. Ada kilat kejutan, lalu jijik, namun juga sebuah perhitungan dingin. “Kau masih memohon untuk gadis itu? Setelah semua ini?” geram Souta, nada suaranya menguji.
“Ya, Nii-san,” jawab Renji, kepalanya semakin tertunduk. “Dan aku bersumpah... aku bersumpah demi kehormatan Takeyama... aku tidak akan pernah lagi mengecewakanmu. Aku akan fokus penuh pada misi. Aku siap ditugaskan ke mana pun, selama apa pun. Aku akan menurut, Nii-san. Aku berjanji.”
Souta terdiam sejenak, menimbang. Ini adalah kemenangan. Renji, yang selama ini memberontak, kini benar-benar hancur dan menyerah.
“Baik,” akhirnya Souta berucap, suaranya dingin dan tajam seperti bilah pedang. “Keberanianmu mengakui kesalahan dan janji kesetiaan mutlakmu akan kupegang, Renji. Gadis itu... dia akan kubiarkan, untuk saat ini.”
Souta berdiri tegak, pandangannya dingin dan mengancam. Ia tahu obsesi Renji belum padam. “Dengar baik-baik, Renji. Kau akan pergi besok pagi. Dan aku akan pastikan kau berada di bawah pengawasan ketat setiap detik. Kalau kau masih berani mencintai perempuan itu, dia akan dijadikan contoh langsung di depan matamu. Dan percayalah... Jepang punya cara menghukum yang bahkan tak bisa kau bayangkan.”
Ancaman itu menohok hati Renji. Ia tahu Souta tidak main-main. Hukuman bagi Senara bisa jauh lebih kejam daripada apa yang ia terima. Namun, ia tidak bisa pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Ia hanya ingin memastikan Senara baik-baik saja. Dan merasakan sentuhannya... untuk yang terakhir kali.
***
Meskipun ancaman Souta mengawang-awang, Renji tidak bisa menahan diri. Malam itu juga, di tengah pengawasan yang diperketat, ia mencari celah. Dengan sisa-sisa pengetahuannya tentang markas dan kebiasaan penjaga, ia berhasil menyelinap keluar, di bawah kain gelap dan sisa-sisa bau asap pertempuran yang masih melekat di udara.