Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #32

Pengasingan ke Ujung Neraka

Renji membeku di tempat. Matanya memerah, tapi ia tak berbalik.

Ia hanya menjawab pelan. “Kau boleh menyebutnya apa pun yang kau mau. Tapi di setiap hela napasnya... dia akan tahu, bahwa darahku akan selalu mencintaimu.”

Lalu ia berjalan pergi, tanpa menoleh. Kembali ke markas untuk mengemban tugas sekaligus hukumannya.

Dan Senara berdiri di sana. Diam. Tapi air matanya jatuh tanpa suara.

Fajar yang merekah tak pernah terasa sesepi itu.

***

Renji melangkah gontai kembali ke markas, tubuhnya terasa jauh lebih berat daripada biasanya. Bukan hanya karena luka pukulan Souta, atau kelelahan setelah semalam suntuk menembus hujan dan kegelapan, tapi juga karena beban janji yang baru saja ia ikrarkan. Janji yang mengikat takdir Senara pada setiap gerak-geriknya di masa depan.

Ia menekan luka di sudut bibirnya, merasakan asin darah dan getir kepahitan yang bercampur jadi satu. Ia telah mengorbankan harga dirinya, merendahkan kepala di hadapan Souta, semua demi melindungi Senara. Kini, ia hanya bisa berharap itu cukup.

Begitu ia melangkah masuk, seorang prajurit langsung menghampirinya. “Shōi, Chūsa Takeyama ingin bertemu Anda segera.”

Renji mengangguk, napasnya terasa sesak. Ia sudah menduga ini. Ia berjalan tertatih ke ruang kerja Souta, mengetuk pintu yang sedikit terbuka. Souta duduk di balik mejanya, menatap dokumen, namun pandangannya tajam dan dingin saat Renji masuk.

“Jadi, kau kembali, Shōi,” kata Souta, tanpa mengangkat kepalanya dari kertas. Nada suaranya datar, namun penuh ancaman tersembunyi. “Aku tahu di mana kau semalam. Baguslah kau kembali sebelum matahari naik. Kalau tidak, aku sudah kirim regu eksekusi.”

Renji tidak bergeming. Ia hanya berdiri tegap, kepalanya sedikit menunduk, siap menerima konsekuensi.

Souta akhirnya mengangkat kepala, menatap Renji dengan mata menusuk. “Janji yang kau berikan semalam, Renji... itu adalah satu-satunya alasan mengapa gadis itu masih bernapas, pagi ini. Jangan lupakan itu di Sanggau. Setiap kelalaianmu, setiap tanda ketidaksetiaan, setiap kegagalan misi di sana... akan kuanggap sebagai pengkhianatan terhadap janji yang kau ucap. Dan saat itu, aku akan pastikan hidupnya menjadi jauh lebih menyakitkan daripada kematian, di depan matamu sendiri... jika kau berani kembali.”

Renji hanya bisa menelan ludah, mengangguk pelan, rasa dingin merayapi tulangnya. Ancaman itu lebih menakutkan daripada pukulan apapun.

Di dalam barak, suasana terasa berbeda. Beberapa perwira menatapnya dengan pandangan campur aduk—jijik, kasihan, atau mungkin sekadar keingintahuan. Berita tentang perkelahian dengan Souta, dan kemungkinan alasannya, pasti sudah menyebar. Renji tidak peduli. Ia hanya ingin secepatnya menyelesaikan formalitas dan pergi.

Lihat selengkapnya