Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #33

Jiwa yang Runtuh di Medan Perang

“Omong-omong soal yang indah-indah,” Kurosawa kembali bersuara, seolah membaca pikiran Renji. “Pertempuran tadi siang... itu mengerikan, Shōi. Anak-anak hutan itu... mereka seperti tidak takut mati. Ada seorang wanita, berani sekali. Melempar batu dan terus berlari ke depan.” Ia menggeleng, sorot matanya kosong. “Sisi manusia kita sudah mati di sini, bukan?”

Kata-kata Kurosawa menghantam Renji. Ya. Sisi manusia. Ia melihatnya pada Kurosawa, pada rekan-rekan lain yang kini tidur pulas tanpa beban setelah hari yang brutal. Mereka sudah terbiasa. Tapi tidak dengan Renji. Ia masih merasakan setiap jeritan, setiap darah.

[ Aku melihat hal-hal mengerikan di sini, Nara-chan.

Darah mengalir seperti sungai. Jeritan tak ada habisnya.

 Aku… aku tidak tahu lagi apa yang aku perjuangkan. Ini bukan lagi soal kehormatan. Hanya bertahan hidup.

Demi… demi janji itu. ]

Janji kepada Senara. Janji untuk kembali. Janji untuk tetap hidup. Janji itu kini adalah satu-satunya jangkar yang menahannya agar tidak tenggelam dalam lautan kekejaman ini. Setiap ia merasa ingin menyerah, ingin membiarkan dirinya roboh di tengah lumpur dan darah, wajah Senara muncul. Senyumnya, mata berbinar, bahkan tatapan menantangnya, semuanya adalah nyala api kecil yang membuatnya terus bergerak.

“Sudahlah, Shōi,” Kurosawa mematikan rokoknya di tanah, menciptakan suara desisan pelan. “Lebih baik tidur. Besok pagi kita harus kembali berburu hantu-hantu hutan itu.” Ia berbalik, langkahnya gontai menuju tempat tidurnya.

Renji hanya bergumam setuju. Ia melipat surat itu dengan rapi, menekannya kuat-kuat ke dadanya, seolah ingin kata-kata itu menyatu dengan detak jantungnya. Surat itu tak akan pernah terkirim. Tak ada alamat, tak ada cap pos. Hanya sebuah pengakuan diam-diam dari seorang prajurit yang nyaris kehilangan segalanya, kecuali satu hal. Yaitu harapan untuk kembali kepada wanita yang telah menjadi rumahnya.

[ Aku akan kembali, Nara-chan. Aku harus. Untukmu. ]

***

Jauh di balik rerimbunan pohon di pinggir desa, Senara terbangun. Tubuhnya masih pegal dan dingin setelah semalam suntuk meringkuk di gubuk reyot itu. Cahaya fajar menyusup samar dari celah dinding bambu. Ia sendirian. Ketakutan akan Kempeitai masih merayapi benaknya, membuat setiap suara dari luar terasa seperti ancaman. Biskuit keras dan air yang diberikan Renji terasa hambar di lidahnya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Jantung Senara berdebar. Ia menahan napas. Suara itu semakin jelas, langkah-langkah berat namun waspada di antara dedaunan kering.

“Siapa di sana?” sebuah suara serak, rendah, dan penuh kehati-hatian terdengar.

Senara menegang. Itu bukan suara Jepang. Ia tahu suara itu. Muzaffar.

Lihat selengkapnya