Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #35

Yang Tumbuh Diam-Diam

Renji mengangguk. Ia tak berkata apa-apa.

Dadanya berdebar aneh. Karena kali ini, perjalanan menuju Ninti berarti dua hal... pertemuan kembali dengan Senara, dan pertempuran yang lebih kejam dari sebelumnya.

Tragedi besar sedang dipersiapkan. Ia tahu itu. Pembantaian yang sistematis. Eksekusi tanpa pengadilan.

Dan ia akan menjadi bagian dari itu—atau mati saat mencoba menolak.

**

Jalan menuju Ninti terasa berbeda kali ini. Hujan rintik membasahi kaca jip, suara gemeretak ban di atas lumpur membuat suasana makin mencekam. Renji memejamkan mata, membiarkan tubuhnya terguncang di bangku belakang jip.

Bayangan Senara muncul lagi di benaknya.

Ia teringat malam hujan tiga bulan lalu, saat tubuh mereka menyatu berkali-kali di dalam gubuk reyot yang nyaris ambruk oleh angin. Lalu, bayangan itu bergeser pada suara gemetar bibir gadis itu saat menggenggam tangannya di depan pintu gubuk dan berkata,

“Kalau aku hamil… dan kau tak kembali… apa aku boleh menyebut anak itu sebagai Takeyama?”

Tenggorokan Renji tercekat.

“Aku kembali, Nara-chan…” gumamnya lirih, hampir seperti doa.

Matanya memejam lebih erat, berusaha mengusir bayangan tentang mayat-mayat di sungai dan hutan Sanggau, tentang darah yang tergenang di lumpur. Tapi wajah Senara tetap muncul, lebih kuat dari apa pun.

Saat jip memasuki wilayah Ninti, udara menjadi lebih dingin. Kampung-kampung di sekitar mulai terlihat sepi, sebagian terbakar. Kabut tipis menyelimuti jalan.

Operasi pembersihan memang belum dimulai secara besar-besaran, tapi tanda-tanda kekacauan sudah jelas.

Setibanya di barak, suasana terasa lebih tegang daripada sebelumnya. Bendera Matahari Terbit berkibar lesu, seolah ikut merasakan beratnya udara. Renji langsung dibawa ke ruang briefing khusus. Di sana, ia melihat beberapa perwira tinggi, termasuk Souta.

Pria itu menatapnya. Bukan dengan amarah seperti dulu, melainkan dengan tatapan dingin, penuh kemenangan yang pahit. Renji tahu, ini adalah hasil dari “pengasingannya” di Sanggau. Ia telah dibentuk menjadi alat yang mereka inginkan.

Briefing berlangsung singkat dan brutal. Mereka bicara tentang “penumpasan gerakan pemberontak” dan “stabilisasi wilayah.” Target-target utama dijelaskan. Elite lokal yang dianggap berbahaya, tokoh masyarakat yang berpengaruh, dan siapa pun yang dicurigai sebagai simpatisan perlawanan.

Mereka tidak peduli detail, tidak peduli bukti. Penangkapan akan dilakukan secara acak dan masif, mengisi penjara-penjara di Pontianak, Mempawah, atau Singkawang.

Renji mendengarkan, tangannya mengepal di balik punggung. Pikirannya melayang pada Muzaffar. Kakak Senara. Apakah dia termasuk di antara target? Rasa dingin merayapi tulangnya.

Ketika briefing selesai, Souta mendekat. “Selamat datang kembali, adikku,” bisiknya, suaranya pelan dan mengancam. “Kau tidak mati di Sanggau. Menarik.”

Renji menunduk, menahan seluruh amarah dan jijik yang mendidih di perutnya.

“Kurasa pengalaman di Sanggau telah mengajarkanmu banyak hal, bukan?” Souta menepuk bahunya, tepat di atas luka yang belum pulih. Renji menggertakkan gigi.

Lihat selengkapnya