Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #37

Celah Untuk Si Licik

Renji mengepalkan tangan. “Aku tidak bicara padanya. Aku bahkan tidak menyentuhnya! Aku hanya... memastikan dia baik-baik saja.” Suaranya kini penuh keputusasaan.

“Baik-baik saja?” Souta mendengus. “Kau pikir itu cukup untuk mengubah takdirnya? Hutan itu, Renji... hutan itu sudah kami pilih sebagai kuburannya, sejak lama.”

Renji membeku. Kuburan. Nama sebuah hutan yang ia dengar beberapa waktu lalu bergaung di benaknya. Jadi, ini bukan hanya penangkapan acak. Ini adalah rencana besar. Sebuah pembersihan.

Souta melangkah mundur sedikit, menyandarkan punggung di tiang kayu barak, matanya menatap Renji tajam, memindai setiap ekspresi di wajah adiknya. “Kau pikir bisa terus melihatnya dari jauh, Shōi Takeyama? Bahkan sebentar lagi itu akan jadi suatu hal yang mustahil. Karena bisa saja… hidupnya sendiri tinggal menunggu giliran.”

Renji menelan ludah. Ancaman itu terasa nyata, dingin, dan dekat. Ia tahu Souta akan melakukan apa saja. Dan ia tahu Souta bisa.

“Kau tahu mengapa aku menempatkanmu di sini, Renji?” Souta melanjutkan, nadanya kembali datar. “Bukan untuk memberimu kesempatan. Tapi supaya kau belajar menghancurkan, Renji. Sampai terbiasa. Sampai tak peduli lagi.”

Renji hanya menatap kosong. Setiap kata Souta adalah racun yang merasuki pembuluh darahnya.

“Dan kau tahu bagian terbaiknya?” Souta tersenyum sinis, mencondongkan tubuh sedikit. “Mungkin… tanganmu sendiri yang akan menyelesaikan urusan itu nanti. Kau tak akan tahu siapa yang namanya ada di daftar sebelum waktunya tiba.”

Renji terkesiap. Wajah Senara melintas di benaknya. Muzaffar. Nama-nama itu. Daftar. Siapa saja. Siapa pun bisa ada di sana. Dan ia, si algojo, bisa menjadi orang yang menarik pelatuk pistolnya. Atau mengayunkan katana-nya.

Renji menunduk, kedua matanya meredup. Ia paham persis maksud ucapan itu. Ini bukan sekadar ancaman. Ini adalah skenario yang sudah lama disiapkan.

Souta menepuk bahu Renji sekali lagi, lalu kembali duduk. Ia mengambil botol arak dan menuangkan isinya ke cangkir kecil.

“Minumlah. Dunia ini akan lebih mudah ditelan kalau kau mabuk sedikit, Shōi Takeyama.”

Tapi Renji tetap berdiri tegak. Tidak menyentuh gelas. Tidak menjawab. Hanya matanya yang terus menatap lantai, seolah mencari lubang tempat ia bisa mengubur semua luka yang sebentar lagi akan datang.

Souta menegakkan tubuh, memandang Renji dengan tatapan tenang yang menanti. “Tak apa, kalau kau tak mau minum denganku. Kalau begitu, istirahatlah, Renji. Mulai besok akan jadi hari yang panjang. Banyak yang harus ‘dibersihkan’.”

Souta berdiri dan berbalik, meninggalkan Renji sendirian dalam kegelapan barak. Angin malam berdesir, membawa bisikan kematian.

Malam itu, Renji pulang ke baraknya sendiri. Dan sejak saat itu, ia tahu satu hal pasti—

Tragedi yang lebih besar sudah menunggu di tikungan.

Ia harus melakukan sesuatu. Sekarang. Sebelum nama Senara ada di daftar. Sebelum tangannya sendiri yang harus mengakhiri semua.

***

Lihat selengkapnya