Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #38

Daftar Hitam Kematian

“Nara, kemari sebentar,” panggil Muzaffar. Suaranya pelan, tapi terdengar tegas, seperti batu yang dijatuhkan pelan namun menimbulkan riak di permukaan air.

Senara melangkah mendekat, menatap wajah kakaknya yang keras dan murung. Di samping Muzaffar, Sariya duduk diam, dengan sorot mata yang sama gelapnya. Ini bukan pertemuan biasa. Firasat buruk langsung menyelimuti dada Senara.

“Ada apa, Bang?” tanyanya, mencoba menenangkan diri, meskipun jemarinya tanpa sadar meremas ujung kain bajunya.

Muzaffar menghela napas panjang, menatap adiknya dengan pandangan berat. Di matanya ada rasa sakit, keraguan, dan putus asa yang tidak bisa lagi disembunyikan.

“Nara… aku sudah memikirkan ini matang-matang,” ucap Muzaffar, suaranya serak. “Ini tentang masa depanmu. Masa depan kita semua.”

Senara menelan ludah, menunggu dengan dada yang sesak.

“Aku tahu kau pasti marah. Aku tahu ini berat. Tapi…” Muzaffar berhenti sejenak, menghindari tatapan adiknya. “Ini satu-satunya jalan keluar.”

Lalu, kalimat itu meluncur dari bibirnya.

“Kau akan kunikahkan dengan Salim.”

Seisi dunia seakan ambruk di hadapan Senara.

Kata-kata itu seperti pisau yang menyayat dalam-dalam. Ia mundur selangkah, punggungnya membentur dinding bambu di belakangnya.

“Apa? Bang! Apa yang Abang katakan?!” suaranya meninggi, penuh ketidakpercayaan.

Wajahnya memucat. Darah seolah lenyap dari wajahnya. Matanya membulat, menatap Muzaffar dengan panik.

Salim? Lelaki itu? Lelaki dengan tatapan menjijikkan yang selama ini selalu ia hindari?

“Tidak, Bang! Aku tidak mau! Aku tidak akan pernah menikah dengan dia! Aku tidak mencintainya!” jerit Senara. Air mata langsung membanjiri pipinya. Jeritan putus asa itu keluar dari dasar jiwanya.

Ia tidak sanggup membayangkan Salim sebagai suaminya. Sentuhan lelaki itu, kehadirannya, bahkan bayangannya saja membuat tubuhnya bergidik ngeri.

Bayangan Renji melintas.

Wajah itu—seorang tentara dari pihak musuh—tapi justru menyelamatkannya dari kekejaman dunia yang sekarang memerangkapnya. Tatapan mata Renji, sentuhan lembutnya di setiap pertemuan rahasia mereka, ciuman memabukkan yang tak pernah ia sesali… semua itu kini seperti mimpi yang direnggut paksa.

Bagaimana mungkin ia yang pernah merasakan kebersamaan dengan Renji, kini harus menyerahkan diri kepada Salim? Lelaki yang bahkan menyebut namanya saja membuat ia mual.

“Cinta?!” bentak Muzaffar, suaranya meninggi. “Apa yang kau tahu tentang cinta di masa seperti ini, Nara?”

Tangannya menunjuk ke luar jendela, ke arah kampung yang mulai diselimuti gelap.

“Kita sedang perang! Desa kita diawasi! Kau sadar tidak, kalau sampai orang tahu kau hamil anak tentara Jepang?!”

Kata “hamil” dan “tentara Jepang” terucap dari mulut Muzaffar dengan nada tajam, seakan memuntahkan aib yang selama ini ditahannya sendiri. Setiap kata itu menghantam dada Senara. Ia menunduk, tubuhnya bergetar hebat. Air mata terus mengalir.

“Ini bukan hanya soal kehormatan,” lanjut Muzaffar, suaranya serak, tapi tetap terdengar keras. “Ini soal nyawa! Nyawamu! Nyawa kita semua! Kalau orang kampung tahu… kau bisa dibunuh! Dianggap pengkhianat! Dan kalau itu terjadi, kita semua kena! Aku, Sariya, keluarga kita… habis!”

Senara terisak, tak mampu berkata-kata. Kakinya gemetar, tubuhnya terasa ringan seolah ingin roboh.

Lihat selengkapnya