Daftar itu panjang. Dan sebagian nama di dalamnya adalah orang-orang yang sebenarnya selama ini membantu Jepang mengatur logistik dan mengendalikan warga.
Nakagawa bersandar di kursi. "Mandor akan menjadi pusat eksekusi, Takeyama. Kau pasti paham mengapa kami memilih tempat itu.”
Souta mengangguk. Ia merapikan berkas di tangannya. Menatap Nakagawa dengan wajah datar.
"Perintah ini bersifat rahasia tingkat tinggi, Shōsa?" Suara Souta rendah dan berat.
"Betul." Nakagawa mencondongkan tubuh. "Hanya perwira tertentu yang tahu misi ini secara utuh. Bawahannya hanya diberi perintah ‘pembersihan unsur anti-Nippon’. Detailnya… cukup sampai di Anda."
Souta memejamkan mata sejenak. Ia tahu tugas ini berarti pembantaian.
***
Udara di desa Ninti terasa semakin berat, ketakutan kian mencekik. Kabar-kabur penangkapan warga semakin santer terdengar. Bukan lagi bisik-bisik, melainkan gumaman ketakutan yang menyebar seperti api di daun kering. Namun, detailnya tetap gelap, diselimuti kerahasiaan dan teror.
Di markas militer Jepang, suasana tegang terasa lebih pekat dari biasanya. Lampu minyak di barak perwira menyala hingga larut malam. Peta-peta besar terhampar di meja, diselimuti bayangan oleh asap rokok dan desah lelah para perwira.
Renji, yang kini lebih sering duduk di sana, merasakan beban di dadanya kian menghimpit. Matanya lebih sering menatap ke luar jendela, ke arah hutan yang menyimpan terlalu banyak rahasia, dan ke arah desa-desa kecil nun jauh di sana.
Malam itu, Souta Takeyama kembali dari perjalanan panjangnya ke Pontianak. Aura di sekelilingnya terasa lebih dingin dan kejam. Ia segera mengumpulkan beberapa perwira terpilih, termasuk Renji, di ruang rapat rahasia. Tak ada prajurit rendahan yang diizinkan mendekat.
“Perhatian!” Suara Souta menggelegar, memotong keheningan. Matanya menyapu setiap wajah di ruangan itu, penuh intimidasi. “Kita menerima instruksi langsung dari Singapura dan Tokyo.”
Renji merasakan tengkuknya meremang. Instruksi dari atasan tertinggi selalu berarti perubahan, dan seringkali, berarti lebih banyak darah.
“Kita diminta menertibkan Kalimantan Barat sebelum terjadi apa-apa.”
“Penertiban, Chūsa?” bisik Imazawa, separuh bertanya, separuh menyindir. Ia tahu persis itu bukan sekadar penertiban biasa.
Souta tidak menjawab langsung. Ia membetulkan kerah seragamnya, lalu menepuk peta di depan mereka.
“Operasi ini,” lanjut Souta, menjeda kalimatnya, suaranya kini lebih rendah dan penuh penekanan, “memiliki nama resmi Operasi Pembasmian Unsur Anti-Nippon.”