Keheningan menelusup di antara mereka. Hujan di luar sudah benar-benar berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang menyengat. Langit Pontianak kini keunguan, memudar perlahan seperti lukisan yang dilap saputangan waktu.
Senara menoleh ke arah Zalya, matanya yang tua menatap dalam. Ada kerumitan yang tak terhingga di sana—rasa sakit, penyesalan, namun juga jejak-jejak keberanian yang tak pernah padam.
“Kisah itu, Sayang… masih sangat panjang,” gumam Senara, suaranya nyaris berbisik. “Dan itu akan membawa kita pada sebuah hari yang lebih gelap dari apa pun yang pernah kau bayangkan. Hari ketika tragedi besar itu terjadi. Hari yang mengubah segalanya, bukan cuma untuk kami, tapi juga untuk Kalimantan Barat.”
Zalya menelan ludah. Hatinya dipenuhi antisipasi dan duka yang belum sempat tumpah.
“Obaa-chan…” suaranya gemetar, “waktu itu… Ojii-chan tahu nama Tok Muzaffar ada di dalam daftar?”
Senara menatap keluar jendela. Hujan masih menetes di kaca, memburamkan bayangan pohon-pohon di kejauhan.
“Ya.” Suaranya lirih. “Renji melihat nama itu dengan matanya sendiri. Dan saat itu juga, ia tahu—ia harus melakukan sesuatu.”
Zalya mencondongkan tubuh, suaranya hampir tak terdengar. “Lalu… Ojii-chan pergi ke rumah Tok Muzaffar?”
Senara mengangguk. “Pagi itu, sebelum operasi penangkapan malam berikutnya dilakukan. Meski dia tahu… itu artinya mempertaruhkan nyawanya sendiri. Apalagi bagi seorang prajurit Kekaisaran, konsekuensinya jelas. Kalau sampai ketahuan membelot, dia bukan hanya akan dianggap pengkhianat negara, tapi juga akan dihukum mati.”
Zalya menunduk sebentar, lalu kembali menatap wajah Senara. “Tapi Ojii-chan Renji nggak kenapa-kenapa kan?” Nada suaranya terdengar khawatir, meski ia tahu ini hanya sebuah cerita yang telah lama berlalu. Namun hatinya tetap berdegup seakan semuanya terjadi hari ini.
Senara tidak langsung menjawab. Matanya menutup perlahan, seolah sedang membuka pintu yang selama ini ia biarkan terkunci rapat. Napasnya berat. Seakan kenangan itu masih hidup, berdetak di balik tulang rusuknya.
Zalya memejamkan mata juga. Ia tahu, bagian ini bukan lagi tentang cinta yang sembunyi-sembunyi.
Ini tentang tragedi.
Dan tentang bagaimana luka itu menetes dari satu generasi ke generasi berikutnya.
***
Akhir Juni 1944
Langit Kalimantan Barat mendung. Hutan menahan napas, seakan tahu ada hari-hari gelap yang sedang datang. Barisan prajurit yang berseragam lengkap, senjata terhunus, dan wajah-wajah tanpa ekspresi berbaris rapi. Truk-truk militer sudah siap bergerak.
Ini dia. Hari itu. Hari-hari penangkapan acak dimulai.
Renji berdiri di barisan perwira lapangan. Tubuhnya tegap, namun ada gemetar halus di tangan yang tersembunyi di balik seragam. Di hadapannya, Souta menyerahkan daftar baru dengan mata yang nyaris tanpa cahaya manusiawi.
“Baca ini.” Nada suara Souta tajam, singkat. “Dan jangan banyak tanya.”
Renji menerima daftar itu. Jari-jarinya menyusuri nama-nama yang tertera di sana. Wajah-wajah yang ia kenal. Beberapa bahkan sering menyapanya saat patroli, pernah mengajak makan di teras rumah, pernah memberi air saat ia kehausan.