“Aku datang ke sini hanya untuk memberi tahu bahwa kalian berada dalam bahaya. Aku minta kau membawa lari Nara-chan sekarang juga. Sembunyikan dia ke tempat yang aman.”
Muzaffar mendengus. Sorot mata penuh rasa tak percaya jelas terlihat. “Kau pikir aku akan percaya dengan kebohonganmu itu, Takeyama?”
“Kau tidak perlu percaya padaku,” kata Renji, suaranya rendah dan penuh desakan, namun tak ada lagi emosi pribadi di sana, hanya urgensi yang mendalam. “Tapi aku tidak akan diam melihat Nara-chan jadi korban pembantaian. Ini bukan soal pernikahan bodoh itu. Ini soal hidup dan mati. Aku punya informasi dari markas.”
Muzaffar memicingkan mata, goloknya sedikit terangkat. “Kau pikir aku bodoh? Kau tentara mereka. Kau datang kesini menyelinap, dan ingin aku kabur atas namamu?”
“Kita tak punya banyak waktu, Muzaffar. Aku tak bisa berlama-lama di sini karena mungkin aku pun sedang diawasi. Tolong lakukan apa yang aku minta. Kalau kau tak lari sekarang, bukan hanya kau yang dibawa... Nara-chan pun bisa ikut hilang.”
Muzaffar tertawa pendek, getir. “Jadi ini jebakanmu? Supaya aku kabur dan kau tangkap aku di jalan?”
Renji mengerang pelan, suaranya seperti menahan pecahan kaca di tenggorokan.
“Terserah kau percaya atau tidak,” balas Renji, nada suaranya menahan emosi yang bergejolak. Ia memaksakan setiap kata keluar dengan tegas. “Aku tidak peduli kau mau kembali dan mati di sini. Tapi bawa Nara-chan pergi. Sembunyikan dia. Sekarang.”
Muzaffar menertawakan. “Kau pikir aku akan lari hanya karena ancaman kosong dari tentara yang datang menyelinap? Ini pasti jebakanmu!”
Renji mengepalkan tangannya. Nafasnya memburu. “Bukan jebakan! Ini operasi besar! Mereka akan menangkap semua orang yang dianggap pemberontak. Malam ini! Namamu ada di daftar itu, Muzaffar!” Ia merendahkan suaranya, memohon. “Kalau kau keras kepala… kalau kau pikir aku menjebakmu… silakan! Tapi bawa dia keluar dari desa. Sembunyikan dia. Sekarang.”
Muzaffar terdiam. Ia menatap Renji, mencari tanda kebohongan di mata tentara itu. Renji tidak pernah terlihat seserius ini, seputus asa ini. Namun, ia juga tahu betapa liciknya taktik Jepang.
“Aku akan pastikan dia hidup… meskipun seluruh manusia di Kalimantan ini habis dibabat!” Renji melanjutkan, suaranya kini terdengar seperti sumpah, putus asa yang terdalam. “Kalau perlu aku antar sendiri. Aku akan membawanya ke tempat yang aman.”
Muzaffar menatap mata Renji, mencari kebenaran. Ia melihat kegilaan, keputusasaan, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tugas militer. “Kau mencintainya,” desis Muzaffar, sebuah kesimpulan yang tak terduga, muncul dari bibirnya.
Renji tidak menyangkal. Tatapannya kini kembali melembut saat nama Senara disebut. Ia mengangguk pelan, bibirnya bergetar. “Aku hidup karena dia. Kalau dia mati, aku tak ada lagi alasan untuk hidup.”
Muzaffar mendesis. Matanya penuh amarah tapi juga bingung.