Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #42

Separuh Jiwa yang Pergi

“Iya, Bang! Tadi waktu aku mau mengantar makanan buat Mak, aku lihat truk tentara lewat. Katanya ada dua tahanan yang sempat lompat dari truk di jalan dekat sana. Mereka ganti tahanan pakai orang yang ada di sekitar. Sariya diambil begitu saja!”

Muzaffar memejamkan mata, napasnya bergetar. Lututnya hampir lemas. Amarah membakar dalam dirinya. Tentara Jepang. Lagi. Selalu mereka.

Sariya…

Istrinya itu.

Istri yang selama ini selalu setia, selalu kuat di sampingnya, selalu mengurus Senara dengan sabar, kini hilang begitu saja. Direnggut tentara tanpa sebab. Hanya karena tentara itu butuh pengganti tahanan kabur.

Ingatan akan kata-kata Renji berkelebat di benaknya. “Mereka akan menangkap semua orang yang dianggap pemberontak. Malam ini! Namamu ada di daftar itu, Muzaffar! Kalau kau tak lari sekarang, bukan hanya kau yang dibawa... Nara-chan pun bisa ikut hilang.”

Kebenaran menghantamnya. Ini bukan sekadar penangkapan acak. Ini adalah awal dari “operasi pembersihan” yang Renji bicarakan. Dan Sariya, istri yang baru saja ia perjuangkan untuk tetap bersamanya, kini menjadi korban.

Muzaffar merasakan kepalanya berputar. Ia harus memutuskan, segera.

Di satu sisi, ada Senara, adiknya yang terbaring lemah di dalam rumah, yang harus diselamatkan dari pembantaian. Di sisi lain, ada Sariya, istrinya, yang baru saja diculik dan dibawa ke markas yang penuh ancaman, mungkin untuk disiksa atau lebih buruk lagi.

Dua pilihan mengerikan. Dua nyawa yang dicintai.

Ia ingin segera menyusul Sariya, menerobos markas itu, membunuh setiap tentara yang menghalangi. Namun, ia tahu itu adalah tindakan bunuh diri. Jika ia tertangkap sebelum sempat menyembunyikan Senara, maka itu artinya dia mengambil jalan yang salah. Keputusannya bisa membunuh mereka bertiga.

Napas Muzaffar tersengal. Wajahnya mengeras, penuh tekad yang pahit. Ia harus menyelamatkan yang tersisa dulu. Adiknya, Senara, yang masih ada di hadapannya, masih bisa diselamatkan. Baru setelah itu, setelah ia memastikan Senara aman, ia akan mencari Sariya. Ia akan menemukan istrinya, bagaimanapun caranya. Ini adalah prioritas.

Ia mengangguk pada Yusuf, wajahnya keras. “Terima kasih, Yusuf. Sekarang pergilah.”

Muzaffar kembali masuk ke dalam rumah, langkahnya berat tapi cepat. Di dalam, Senara masih tergeletak, tubuhnya panas membakar, napasnya sesak dan pendek-pendek. Muzaffar tahu ia tak punya banyak waktu.

Dengan satu gerakan terlatih, ia mengangkat adiknya ke punggung, membopong Senara seperti membawa sebatang kayu rapuh yang bisa patah sewaktu-waktu. Tangannya yang satu lagi mencengkeram buntalan kain berisi makanan dan barang-barang persiapan. Jantungnya berdetak keras, seolah ikut berlomba dengan waktu.

Dia tidak mungkin lewat jalan utama. Muzaffar memilih menembus hutan belakang rumahnya, menyusuri jalur kecil yang hanya ia dan Senara tahu. Jalan setapak itu basah, licin oleh tanah dan akar-akar pohon yang menjulur.

Hujan gerimis yang turun sejak pagi membuat hutan tampak lebih pekat. Daun-daun basah menampar wajahnya, tapi Muzaffar tak peduli. Ia hanya berlari, dan berlari, napasnya terengah, pundaknya berat karena beban adiknya yang menggigil di punggung.

Lihat selengkapnya