Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #44

Hari yang Tercatat Dalam Sejarah

Operasi berlanjut hingga larut malam. Patroli-patroli bergerak di seluruh penjuru wilayah, tak hanya menargetkan daftar, tapi juga menangkap siapa pun yang dicurigai atau yang kebetulan ditemui.

Di tengah kegelapan yang pekat, di jalan setapak yang menghubungkan desa Ninti dengan area hutan di utara—tempat Muzaffar putus asa mencari jejak Sariya—ia menemui nasibnya. Ia mendengar deru truk militer yang mendekat, disusul suara-suara teriakan dan rentetan tembakan dari kejauhan. Sebuah patroli Kempeitai yang berbeda dari regu Renji, dalam misi menyisir area itu, menemukan Muzaffar.

Muzaffar, dengan goloknya, mencoba melawan. Ia bertarung sekuat tenaga, setiap ayunan goloknya dipenuhi amarah dan keputusasaan mencari sang istri. Namun, ia hanyalah satu orang melawan belasan tentara bersenjata lengkap. Ia jatuh, tubuhnya dipukuli, kesadarannya direnggut paksa. Goloknya terlepas dari genggaman, jatuh di tanah berlumpur.

Tidak lama setelah penangkapan Muzaffar itu, laporan pun sampai ke markas utama.

Suara langkah tergesa-gesa memecah keheningan di ruang perwira tempat Souta sedang memeriksa peta. Seorang bawahan berlari menghadapnya.

“Chūsa! Laporan penting!” bisiknya, napasnya tersengal.

Souta menatapnya tajam. “Apa?”

“Kami… kami baru saja menangkap seorang lelaki, Chūsa! Di jalur utara patroli. Dia pemimpin pemberontak desa Ninti yang masuk daftar akan ditangkap malam ini. Dia sempat melawan dengan golok, tapi berhasil dilumpuhkan.”

Alis Souta terangkat. “Muzaffar?” tanyanya memastikan.

“Benar, Chūsa,” jawab prajurit itu.

Souta bersandar. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Namun, seringai tipis, dingin, dan penuh kemenangan merekah di bibirnya. Sebuah rencana terlintas cepat dalam benaknya.

“Kita simpan yang satu ini. Jangan bawa ke penjara umum. Bawa ke sel khusus Kempeitai di Mandor.”

“Lapor ke siapa?”

“Tidak usah. Langsung bawa ke ruang bawah. Jangan catat namanya.”

“Baik.”

Souta mengangguk, lalu mencondongkan tubuh, suaranya kini sangat rendah dan penuh otoritas yang mengerikan.

“Dan satu lagi. Kencangkan ikatannya. Beri ‘perlakuan spesial’ untuknya. Aku ingin dia diinterogasi secara pribadi. Tapi pastikan dia tidak mati.”

Bawahan itu mengangguk kaku, lalu segera pergi melaksanakan perintah Souta.

Di sel khusus Kempeitai yang lembap dan dingin, jauh dari mata-mata dan prosedur standar, Muzaffar mengalami neraka. Setiap hari adalah siksaan, setiap malam adalah penderitaan. Cambukan, tendangan, bentakan, dan metode interogasi kejam lainnya diterapkan untuk memaksanya mengaku, meskipun Muzaffar tidak memiliki informasi besar yang mereka inginkan.

Tubuhnya remuk, jiwanya hancur. Namun, yang paling menyiksa adalah ketidaktahuan tentang Sariya. Apakah istrinya baik-baik saja? Apakah dia masih hidup? Pertanyaan itu membakar otaknya lebih dari rasa sakit fisik.

Lihat selengkapnya