Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #45

Amanah Terakhir

Mata Sariya berbinar oleh air mata yang tak mengalir. Bibirnya, yang pecah-pecah, seolah tersenyum tipis. Sebuah senyum yang seolah berkata. “Aku mencintaimu, Bang Zaffar… aku pergi dulu. Aku menunggumu.”

Muzaffar menggigil. Seluruh tubuhnya bergetar tak terkendali. Ia ingin menjerit, ingin meronta, ingin meraih Sariya, memeluknya untuk yang terakhir kali. Tapi ia hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan nafas tercekat. Air mata tak bisa ditahan. Bukan karena takut. Tapi karena kenyataan. Ia tidak bisa menyelamatkannya.

“Ampuni aku Sariya…” gumamnya nyaris tak terdengar.

Prajurit di samping Sariya bersiap. Senapan diarahkan ke belakang kepala.

Sariya tidak menangis. Tidak berteriak. Lengkungan di bibir pucatnya melebar sedikit, sebuah senyum yang ingin ia berikan sebagai kenangan indah untuk yang terakhir kali. Seolah ia ingin Muzaffar mengingatnya bukan dalam ketakutan, melainkan dalam cinta.

DOR!

Suara menggelegar memecah langit.

Tubuh Sariya jatuh ke depan, pelan… nyaris seperti orang tidur. Wajahnya menghantam tanah becek yang merah. Tak bergerak. Rambut menutupi pipinya. Tangan yang terikat masih berada di punggung.

Muzaffar menahan teriakannya. Suaranya pecah dalam dada, bukan di tenggorokan.

Ia menunduk, bahunya bergetar. Air mata jatuh satu per satu, menimpa tanah yang sama di mana istrinya rebah. Bibirnya bergetar.

“Tunggu aku... aku tak akan membiarkanmu sendirian, Sariya… Aku janji…”

Ia tidak menoleh pada prajurit. Tidak melawan. Ia hanya tenggelam dalam kesedihan yang tak berbentuk, lebih tajam dari luka mana pun.

Prajurit kembali datang. Penutup kepala hitam itu kembali dikenakan padanya.

Dunia kembali gelap.

Di sisi lain lapangan, prajurit-prajurit sibuk mengumpulkan mayat, menyeret satu per satu ke lubang besar yang sudah digali.

Langit Mandor menghitam, meski belum waktunya senja. Seolah bumi sendiri menolak menyaksikan kebiadaban yang terjadi di bawahnya.

***

Renji tiba di lapangan eksekusi.  Ia baru saja selesai memimpin regu eksekusi lain di sektor yang berbeda, tangan dan seragamnya masih bersih dari noda, namun jiwanya terasa kotor. Langkahnya berat saat melintasi lapangan, melangkahi jasad-jasad yang berserakan.

Di kejauhan, ia melihat Souta mengawasi dengan pandangan dingin. Renji berjalan lurus menghampiri kakaknya. Mendekat ke podium darurat tempat Souta berdiri, tanpa sepatah kata.

“Kau tidak ingin ikut bersenang-senang hari ini, Shōi Takeyama?” suara Souta terdengar tenang, bahkan nyaris main-main.

Renji tidak menjawab. Matanya menyapu lapangan—tubuh-tubuh bergelimpangan, tanah merah yang bercampur darah, jeritan yang menggantung di udara seperti hantu tak kasat mata.

Tiba-tiba semuanya mengabur ketika matanya tertumbuk pada satu sosok. Di antara barisan tahanan yang masih berlutut, pandangannya terhenti pada postur tubuh yang ia kenal. Kepalanya tertutup kain hitam.

Muzaffar.

Lihat selengkapnya