Renji jatuh bersimpuh, diam-diam menangis di balik seragam militernya. Bahunya bergetar hebat, tubuhnya lunglai. Ia tidak lagi peduli pada siapa pun.
Souta mendekat, berdiri di samping adiknya yang tersungkur. Ia menunduk, berbisik di telinga Renji, suaranya dingin, kejam, dan penuh kemenangan.
“Sekarang kau tahu. Tidak ada yang bisa kau lindungi. Tidak Muzaffar… bahkan bukan Senara.”
Renji tidak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya, ia terlihat retak, hancur, patah. Jiwanya tercabik. Namun, di tengah kerapuhan itu, ada bara api baru yang menyala. Bara api dari janji yang baru saja terucap. Janji untuk Senara. Dan anak mereka.
Souta menepuk bahu Renji sebelum akhirnya berbalik pergi ke tempatnya semula.
Renji masih menunduk. Namun pandangannya jatuh pada seutas kalung di genangan merah—tali hitam kusam dengan tabung kecil dari perunggu, jimat pelindung yang biasa dipakai lelaki kampung. Entah berisi doa, nama ibu, atau sekadar harapan. Ia meraihnya pelan, menggenggamnya erat, seolah itu sisa terakhir dari Muzaffar yang bisa ia selamatkan.
Pandangan Renji kabur oleh air mata, namun genggamannya pada kalung itu menguat. Kalimat terakhir Muzaffar bergaung di telinga Renji, menusuk lebih dalam dari bilah katana Souta.
“...bukan hanya kehilangan dia... tapi juga anakmu.”
Senara hamil. Anak mereka. Sebuah kehidupan baru di tengah neraka ini. Janji yang baru saja ia bisikkan di telinga Muzaffar kini menjadi sumpah yang mengikat jiwanya.
Souta sudah pergi, meninggalkan Renji yang tersungkur di tanah berlumuran darah. Di sekelilingnya, suasana masih mencekam. Suara tembakan sesekali terdengar dari sektor lain, disusul jeritan putus asa. Prajurit sibuk menyeret mayat ke lubang galian, wajah-wajah mereka keras, terbiasa dengan pemandangan kematian. Renji harus bangkit. Ia tidak bisa diam di sini, tidak bisa menunjukkan kelemahannya lebih lama lagi.
Dengan sisa kekuatan, Renji memaksakan tubuhnya berdiri. Seragamnya kotor, lumpur dan darah menempel di lututnya. Ia merasakan pandangan beberapa prajurit yang melintas. Seorang Kopral muda sempat meliriknya.
“Shōi Takeyama, Anda baik-baik saja?” tanyanya, ragu-ragu.
Renji membalas dengan tatapan dingin yang dipaksakan. “Aku baik. Kembali ke posmu!” suaranya serak, namun tegas. Kopral itu mengangguk kaku dan segera menjauh.
Renji kembali mengenakan topeng dinginnya—yang setiap hari menyembunyikan badai dalam dirinya. Ia berjalan tertatih menjauh dari lubang galian itu, menjauh dari tumpukan mayat, menjauh dari ingatan tentang Muzaffar yang menatapnya dengan penuh harap.
Ia menemukan kendaraannya, sebuah jip militer kecil yang ia gunakan untuk berpatroli, diparkir tidak jauh dari lapangan eksekusi. Prajurit yang menjadi sopirnya sedang merokok, menatap kosong ke kejauhan.
“Kita kembali ke markas,” perintah Renji, suaranya serak namun tegas. Ia naik ke kursi belakang, tubuhnya terasa kaku.
Sepanjang perjalanan kembali, Renji terus memejamkan mata. Otaknya berputar, menyusun rencana. Ini bukan lagi soal patroli militer. Ini soal pelarian. Pelarian Senara. Dan anak mereka.