Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #47

Gubuk yang Pernah Menyembuhkan

Renji harus melewati area yang sering dilewati patroli Kempeitai. Ia bersembunyi di balik semak tebal, napasnya ditahan, mendengarkan setiap suara. Deru truk di kejauhan, suara langkah sepatu bot yang teratur, bisikan prajurit yang berpatroli. Ia tahu, setiap kesalahan bisa berarti akhir dari segalanya. Bukan hanya baginya, tapi juga bagi Senara dan anak mereka.

Beberapa kali, ia nyaris berpapasan dengan regu patroli. Renji harus memutar jauh, menyelinap lebih dalam ke hutan, mengabaikan duri yang menggores seragamnya dan dahan yang mencambuk wajahnya. Ia menggunakan semua pelatihan tempur yang ia miliki, bukan untuk menyerang musuh, melainkan untuk menghindari bangsanya sendiri. Sebuah ironi yang pahit.

Semakin dalam ia masuk ke hutan, semakin sunyi. Hanya suara alam yang menemaninya. Suara jangkrik, desiran angin di dedaunan, dan detak jantungnya sendiri yang memukul keras di dada. Kalung Muzaffar di genggamannya terasa dingin, sebuah pengingat akan janji dan tanggung jawabnya.

Setelah berjam-jam perjalanan yang menegangkan, akhirnya, Renji melihatnya. Siluet gubuk kecil yang tersembunyi di balik rimbunnya pohon. Hatinya berdebar. Apakah dia masih di sana? Atau sudah pergi? Atau lebih buruk lagi…

Dengan langkah yang perlahan menjadi terburu-buru, Renji mendekat. Ia merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Takut akan apa yang akan ia temukan. Takut akan ketakutan yang ia lihat di mata Senara nanti. Tapi ia juga tahu, ia harus menghadapinya.

Ia tiba di depan gubuk. Pintu bambu tertutup rapat. Keheningan menyelimuti. Renji menahan napas, tangannya gemetar saat ia menyentuh bilah bambu yang menjadi pintu dan mendorongnya perlahan.

Gubuk itu gelap dan lembap. Aroma ramuan herbal masih tercium samar. Matanya menyapu ruangan.

Di sudut gubuk, terbaringlah sebuah sosok.

Senara.

Hati Renji berdebar lagi, kali ini bukan karena takut, melainkan karena kengerian melihat kondisi Senara. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya sangat pucat, bibirnya pecah-pecah, napasnya terdengar sangat sesak. Tubuhnya menggigil hebat, meskipun ia sudah diselimuti kain tebal. Demamnya jelas semakin parah.

Renji segera berlutut di sampingnya. Tangannya terulur menyentuh dahi Senara. Panas membakar kulitnya, seperti bara. Gadis itu mengerang pelan, tidak sadar akan kehadirannya.

“Nara-chan…” bisik Renji, suaranya parau, penuh keputusasaan. “Sial! Panas sekali! Kenapa kau jadi separah ini?”

Renji mengguncang bahu Senara pelan. “Nara-chan, bangun… Ini aku, Renji!”

Senara hanya mengerang, tidak membuka mata. Namun, perlahan, kelopak matanya bergetar. Ia merasa seperti melayang, panas dan dingin bergantian merasuki tubuhnya. Suara itu… suara Renji?

Tidak mungkin.

Lihat selengkapnya