
Senara mengerang samar, kelopak matanya bergetar. Ia mencoba membuka mata, pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan pelukan hangat yang mengelilinginya. Ia mendengar suara Renji, dan untuk sesaat, ia merasa aman. Ia hanya mengangguk samar, terlalu lemah untuk melawan atau bertanya.
Renji menggendong Senara di punggungnya, persis seperti yang Muzaffar lakukan. Tubuh Senara ringan, jauh lebih ringan dari yang ia duga, namun beban tanggung jawab terasa berat di pundaknya. Ia merasakan panas tubuh Senara yang masih membakar, dan napas gadis itu di lehernya.
Dengan langkah yang mantap namun senyap, Renji membuka pintu gubuk. Cahaya fajar yang samar menembus dedaunan lebat, memunculkan bayangan-bayangan panjang di jalur setapak. Hutan di depannya tampak menakutkan, namun juga menjanjikan perlindungan.
“Kita akan baik-baik saja, Nara-chan,” bisik Renji, lebih kepada dirinya sendiri daripada Senara. “Aku akan membawamu ke tempat yang aman. Ke tempat yang tidak akan pernah mereka temukan.”
Ia melangkah masuk lebih dalam ke jantung hutan, menyatu dengan rimbunnya pepohonan, menghilang dari jangkauan markas Jepang. Perjalanan ini baru saja dimulai. Perjalanan tanpa peta, tanpa tujuan pasti—hanya dituntun oleh janji, dan secercah harapan akan kehidupan baru.
***
Renji bergerak dengan langkah mantap namun senyap. Beban tubuh Senara di punggungnya terasa berat, namun beban tanggung jawab yang ia pikul jauh lebih berat.
Demam Senara masih membakar, napasnya yang pendek-pendek terasa panas di tengkuk Renji, setiap sentuhan tubuhnya di punggung Renji terasa seperti bara. Renji tahu ia harus bergerak cepat, tapi juga harus berhati-hati.
Jalan setapak yang ia lewati menjadi semakin kabur, menyisakan hanya lumut tebal, akar-akar pohon yang menjulur, dan tanah basah.
Cahaya fajar yang samar-samar menembus celah dedaunan lebat. Hutan terasa hidup, namun setiap suara —gemerisik daun, kicauan burung— membuat Renji menegang, telinganya awas. Ia menyusuri pinggir sungai kecil, berharap bisa menghilangkan jejak kaki.
Di kejauhan, ia mendengar suara yang paling ia takutkan... deru truk militer yang berpatroli, seperti guntur yang mengancam dari balik bukit. Jantungnya berdebar kencang. Mereka masih menyisir, mencari. Renji segera bersembunyi di balik semak belukar yang paling lebat, menahan napas, menunggu suara itu menjauh.
Setelah beberapa saat, ia melanjutkan perjalanan. Renji memilih jalur-jalur yang paling sulit, menembus semak duri, melintasi dahan-dahan tumbang, dan melompati batu-batu besar. Ia tahu, semakin sulit medannya, semakin kecil kemungkinan patroli Jepang akan mengikuti.
Senara di punggungnya mengerang. Ia dalam kondisi antara sadar dan tidak, matanya tertutup, tapi bibirnya bergerak.
“Bang… jangan pergi…” bisiknya, suaranya parau dan lemah. “Nara… Nara takut.”