“Tidak!” suara Renji nyaris keras, lalu melunak. “Jangan bicara seperti itu.”
“Kau tahu tubuhku lemah, Renji… Kita mungkin tidak akan sampai…”
Renji menggenggam tangan Senara dan menciumnya berkali-kali. Di antara sela-sela ciuman itu, ia berkata, “Dengar aku baik-baik. Kau tidak akan mati, Nara-chan. Kita pasti selamat. Aku akan cari jalan keluar. Mungkin aku harus menggali lubang di tanah, bersembunyi siang hari dan jalan di malam hari. Aku akan lakukan apa pun, Sayang. Bahkan kalau harus barter nyawa, aku akan pilih kau yang hidup.”
Tatapan Senara menunduk, dan tanpa suara, linangan bening mengalir lagi dari sudut matanya.
Renji menyentuh pipinya, lalu mencium bibirnya. Satu kali. Dua kali. Tiga kali.
Lalu ia menyandarkan keningnya ke kening perempuan itu.
“Kalau dunia ini memburu kita, aku rela jadi pelarian selamanya. Asal bersamamu.”
Renji memeluknya erat, menundukkan wajah di bahu Senara, dadanya bergetar menahan emosi yang tumpah diam-diam. Ini adalah pelukan yang ia butuhkan. Pelukan yang menyatukan mereka kembali. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi ia tidak akan pernah meninggalkan Senara lagi. Ia akan melindunginya dengan seluruh kekuatan dan nyawanya. Seperti janjinya.
***
Malam berlalu. Dinginnya hutan merayap masuk ke dalam ceruk tebing, namun kehangatan dari api unggun kecil dan pelukan Renji membuat Senara merasa aman. Pagi hari, Senara terbangun. Pandangannya tidak lagi buram, panas di tubuhnya sudah mereda. Ia menengadah, melihat Renji yang masih mendekapnya dengan mata terpejam.
“Renji,” bisik Senara, suaranya masih parau tapi lebih jelas dari semalam.
Renji tersentak. Ia menatap Senara yang mulai menampakkan seri di wajahnya. “Nara-chan...”
Senara tersenyum lemah. “Kau sungguh di sini.”
Renji mengangguk, ia menggenggam tangan Senara erat-erat. “Aku di sini bersamamu. Aku nyata.”
Senara menegakkan punggungnya, merenggangkan pelukan mereka. Pandangannya menyapu sekeliling, seperti mencari sesuatu. Raut wajahnya berubah. Dari senyum, menjadi ketakutan.
“Bang Zaffar… dia tidak datang kemari ya?” tanyanya, suaranya bergetar. Ia berusaha keras untuk terdengar tenang, tapi Renji bisa melihat matanya yang sudah berkaca-kaca.
Renji menunduk. Ia tahu, kebohongan ini adalah beban terberat yang harus ia pikul. Tapi kebenaran akan menghancurkan Senara. Ia meraih tangan Senara yang gemetar, menempelkan ke pipinya.
“Renji… kau tahu di mana Abang sekarang?”
“Nara-chan…” suara Renji pecah. “Hari itu… Abangmu…”
Renji tak bisa melanjutkan. Ia merogoh saku seragamnya, mengeluarkan sesuatu dari balik sana. Kalung tali hitam yang ia ambil dari tanah berlumuran darah.
Senara melihatnya dengan mata membulat. Bibirnya bergetar. Itu kalung Muzaffar. Kalung yang selalu dipakai abangnya. Sebuah jimat pelindung yang tak pernah ia lepas.
“Kau… kau menemukannya di mana?” bisiknya dengan suara yang nyaris tak terdengar. Matanya mulai mengembun.