Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #50

Hutan yang Mengintai

Dari arah barat, samar-samar terdengar suara logam beradu. Lalu suara tawa kasar seorang prajurit. Renji menahan napas. Itu bukan sekadar suara di kejauhan—itu dekat. Sangat dekat.

Ia segera bergerak, merunduk, berlari kecil menuju semak lebat. Senara terhuyung di punggungnya, tapi Renji tetap stabil. Mereka bersembunyi di balik akar pohon besar yang menjuntai seperti tirai.

Suara itu makin jelas. Kini terdengar percakapan dalam bahasa Jepang. Dua, tiga, bahkan empat suara berbeda. Mereka berbicara santai, tapi langkah kaki mereka menandakan mereka sedang menyisir area. Daun-daun kering bergemerisik di bawah sepatu bot.

Senara menutup mulut rapat, dadanya naik-turun. Ia tahu, satu suara saja bisa menghabisi mereka.

Renji menempelkan tubuhnya ke tanah, menyibak sedikit semak untuk mengintip. Dari celah, ia melihat mereka—empat prajurit dengan seragam hijau kusam, senapan di tangan, bergerak berbaris. Salah satunya menyalakan rokok, asap putih mengepul ke udara. Yang lain menendang semak sembarangan, seakan mencari jejak.

Jarak mereka tidak lebih dari sepuluh meter.

Renji bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. Tangannya meraih gagang katana di pinggang, tapi ia tahu itu mustahil. Empat prajurit bersenjata api melawan dirinya sendiri, apalagi ia membawa Senara. Itu bunuh diri.

“Itu jalur yang kita sisir kemarin, kan?”

“Benar. Tapi tidak ada jejak baru.”

Suara percakapan itu begitu dekat, begitu jelas.

“Kita sudah mencari di sepanjang sungai, Taichō,” kata salah satu prajurit. “Tidak ada tanda-tanda Shōi Takeyama atau gadis itu.”

Renji menahan napas, dadanya bergemuruh. Ia bisa merasakan getaran tubuh Senara di pelukannya. Ia tidak berani bergerak, tidak berani bernapas terlalu keras. Jika mereka tertangkap, semuanya akan berakhir.

“Kita cari lebih dalam lagi,” kata suara pemimpin regu. “Chūsa Takeyama menginginkan kepastian.”

Kata-kata itu bagai belati yang menusuk hati Renji. Souta ternyata telah mengeluarkan perintah untuk mencarinya dan Senara.

Salah satu prajurit mendekat. Ia berhenti tepat di depan semak tempat Renji bersembunyi. Sepatunya menginjak tanah lembek, membuat suara yang menusuk telinga. Ia menghembuskan asap rokok, lalu menoleh ke kiri dan kanan. Renji bisa melihat wajahnya jelas—mata sipit tajam, garis rahang tegas, ekspresi bosan bercampur curiga.

Tangan Renji makin kuat menggenggam katana. Jika prajurit itu membuka semak, satu-satunya pilihan hanyalah menyerang cepat dan berharap bisa membawa Senara lari.

Waktu seakan berhenti. Senara menahan napas begitu lama hingga dadanya sakit.

Lalu, dari arah lain, terdengar teriakan seorang prajurit, “Taichō! Di sini ada jejak ke sungai!”

Lihat selengkapnya