Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #51

Rumah di Balik Tirai Air

Renji melihat sebuah pohon yang cukup tinggi, dengan dahan yang menjulur rendah. Ia segera naik, menghindari taring tajam yang nyaris menggores kakinya. Babi hutan itu mengamuk di bawah pohon, menghentakkan kakinya, menggeram marah.

“Sial!” umpat Renji, dadanya meraung mencari udara.

Ia melihat ke arah Senara, memastikan gadis itu aman. Senara masih bersembunyi di balik pohon besar, matanya menatapnya dengan ketakutan.

“Aku akan baik-baik saja,” bisik Renji, meskipun ia sendiri tidak yakin.

Babi hutan itu terus menghantam batang pohon, membuat getarannya merambat sampai ke dahan tempat Renji berpijak. Ia tahu tak mungkin bertahan di atas. Semakin lama ia menunggu, semakin besar risiko hewan itu menyeruduk ke arah Senara.

Renji mengatupkan rahang. Ia menoleh sekejap ke arah gadis itu, lalu mengangguk tipis—seolah meyakinkan, meski jantungnya sendiri berdegup kencang.

Dengan gerakan terlatih, ia melompat turun. Tubuhnya mendarat ringan di tanah yang lembap, lutut sedikit menekuk. Tanpa membuang waktu, tangannya meraih gagang katana.

Hewan itu tiba-tiba melompat maju. Renji segera menarik katananya, berputar cepat, dan mengayunkan bilah baja. Logam itu beradu dengan keras di udara, hanya menggores bahu hewan, membuatnya meraung makin buas. Tanah bergetar ketika babi hutan itu menyeruduk lagi.

Renji bergeser ke samping, menahan dengan satu tangan di batang pohon, lalu menusukkan pedangnya ke arah sisi leher. Hewan itu meronta, tanah tercabik kuku-kuku besarnya. Senara menjerit lirih, kedua tangannya menutup mulutnya agar tak terdengar terlalu keras.

Pertarungan singkat itu bagai ledakan liar—denting baja, raungan marah, dan tanah yang terus bergetar.

Akhirnya, dengan dorongan terakhir, Renji berhasil menjatuhkan babi hutan itu. Ia mencabut katananya, menatap hewan itu yang kini tergeletak tak bergerak.

Ia terhuyung. Nafasnya masih memburu, katana di tangannya meneteskan darah, dan lututnya nyaris goyah. Ia berdiri di atas tanah basah, berusaha menjaga tubuhnya agar tetap tegak. Adrenalin yang tadi menguasainya perlahan surut, berganti dengan rasa perih di lengan dan pinggang—bekas taring babi hutan yang sempat menyerempet tubuhnya.

“Renji…” suara Senara lirih, hampir seperti bisikan angin, namun penuh guncangan.

Renji menoleh, matanya langsung jatuh pada wajah pucat itu. Ia tersenyum samar, seolah ingin mengatakan semuanya baik-baik saja, padahal tubuhnya jelas gemetar. “Kau selamat. Itu yang terpenting.”

Senara menatapnya tak percaya. “Kau berdarah…”

Renji hendak mengangkat tangan untuk menghapus noda darah di pelipisnya, tapi tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia jatuh berlutut di tanah, katana terlepas dari genggamannya.

“Renji!” Senara buru-buru berlari, meski langkahnya goyah. Demam yang masih membara membuat kepalanya pening, tapi melihat lelaki itu hampir tumbang, ia tak peduli. Ia meraih bahu Renji, berusaha menopang tubuh yang jauh lebih besar darinya.

Lihat selengkapnya