
Renji mencondongkan diri, suaranya rendah tapi penuh senyum nakal. “Mau punya anak laki-laki atau perempuan?”
Senara terbelalak, pipinya makin panas. “Renji!” tegurnya, menepuk dada prajurit itu pelan, setengah kesal, setengah malu.
Renji terkekeh, suara tawanya terpantul di dinding gua. “Aku serius. Kalau aku bisa pilih… aku ingin anak perempuan. Katanya, kalau punya anak perempuan, seorang ayah akan punya alasan untuk pulang lebih cepat ke rumah.”
Senyum itu menipis, berganti raut yang tulus. Matanya menatap Senara dengan kehangatan yang membuat dadanya sesak.
Senara menunduk, jantungnya berdegup keras. “Aku… aku tak pernah berpikir sejauh itu.”
“Karena perang?” Renji menduga. Ia mengangkat tangan, mengusap lembut pipinya yang basah terkena tempias air terjun. “Kalau saja kita hidup di waktu berbeda, mungkin kau akan jadi ibu rumah tangga yang sibuk menidurkan bayi, dan aku—”
“—tentara tetap?” Senara memotong, berusaha menahan senyumnya.
Renji membalas cepat. “Mungkin petani. Atau… tukang kayu? Atau penjual ikan di pasar? Apa pun asal bisa pulang di sore hari.”
Kali ini Senara benar-benar tertawa kecil, menutupi mulutnya. Tawanya terdengar asing di telinganya sendiri, tapi juga menenangkan. “Kau sama sekali tak cocok jadi penjual ikan.”
Renji ikut tertawa, kemudian mengedikkan bahu. “Ya, tapi kalau itu bisa membuatku melihatmu setiap hari… aku rela bau ikan seumur hidup.”
Senara hanya bisa menggeleng, hatinya campur aduk antara getir, bahagia, dan takut.
Renji menatapnya lama, matanya berkilat lembut dalam remang cahaya yang menembus tirai air terjun. “Tapi sungguh, Nara-chan… aku ingin punya anak perempuan. Karena kalau aku lihat wajahnya nanti, aku tahu itu akan jadi wajahmu dalam bentuk kecil. Dan aku bisa jatuh cinta lagi setiap hari.”
Senara terdiam, wajahnya memanas. Air matanya nyaris menetes lagi, tapi kali ini karena bahagia. “Kau selalu pandai bicara hal-hal yang membuatku tak bisa marah,” bisiknya pelan.
Bibir Renji melengkung tipis. “Kalau kau... lebih suka anak laki-laki atau perempuan?”